Surat Al-Faatihah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.(QS.1:1)
بِسْمِ اللَّهِ
Kata Bismil-laahi terdiri dari tiga kata yakni huruf jar bi, kata ismi, dan kata Alloohi, dan kata ismi yang dijarkan oleh huruf jar bi itu menjadi Mudhof, dan kata Alloohi menjadi Mudhof ilaihnya.
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Kata Ar-rohmaanir-rohiimi itu terdiri dari dua kata yakni kata Ar-rohmaani dan kata Ar-roohiimi, yang mana keduanya menjadi sifat dari kata Alloohi, dan kedudukannya berasal dari kata pokok yang sama yakni rohmatan.
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam,”.(QS.1:2)
الْحَمْدُ لِلَّهِ
Kata Alhamdu adalah kata benda/Isim, yang mana dia menjadi Mubtada’, dan Jar Majrur lil-laahi adalah khobarnya, dan kata lil-laahi itu terdiri dari dua kata yakni terdiri huruf jar li dan kata Alloohi.
رَبِّ الْعَالَمِينَ
Kata Robbi yang dimudhofkan pada kata Al-’aalamiina itu menjadi Badal dari kata Alloohi yang ada di sebelumnya, disitu kata robbi yang menjadi Mudhof dijarkan karena kata Alloohi yang digantikannya dijarkan, dan kata al-’aalamiina yang asalnya al-’aalamuuna itu dijarkan karena menjadi Mudhof Ilaih dari kata Mudhof robbi
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,”.(QS.1:3)
Kata ar-rohmaanir-rohiimi itu terdiri dari dua kata yakni kata ar-rohmaani dan kata ar-rohiimi, yang mana keduanya berasal dari kata pokok yang sama yakni dari kata rohmatan, dan kata ar-rohmaanir-rohiimi yang kedua ini disamping dia bisa menjadi sifat dari kata Alloohi yang ada sebelum robbil-’aalamiina, dia juga bisa menjadi sifat dari kata robbill-’aalamina
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Yang menguasai hari pembalasan.(QS.1:4)
Kata maaliki yaumid-diini itu terdiri dari tiga kata benda/isim, yakni kata maaliki, kata yaumi, dan kata ad-diini, yang mana kata maaliki menjadi Mudhof, dan kata yaumi menjadi Mudhof ilaihnya, dan disamping itu kata yaumi juga menjadi Mudhof, dimana kata ad-diini menjadi Mudhof Ilaihnya, dan tiga kata itu menjadi sifat dari kata Alloohi atau bisa juga menjadi sifat dari kata robbil-’aalamiina.
PENJELASAN TAFSIR:
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.(QS. 1:1)
Di
dalam Alquran ada 114 surah, semuanya dimulai dengan “Basmalah”,
kecuali surah At-Taubah. Surah At-Taubah ini tidak dimulai dengan
“Basmalah” karena memang tidak serasi kalau dimulai dengan “Basmalah”.
Di samping pada permulaannya “Basmalah” ada disebutkan satu kali di
pertengahan surah An-Naml:30; dengan demikian “Basmalah” itu didapati di
dalam Alquran 114 kali.
Ada beberapa pendapat ulama berkenaan
dengan “Basmalah” yang terdapat pada permulaan sesuatu surah. Di antara
pendapat-pendapat itu yang termasyhur ialah:
1.”Basmalah” itu
adalah suatu ayat yang tersendiri, diturunkan Allah untuk jadi kepala
masing-masing surah, dan pembatas antara surah dengan surah yang lain.
Jadi dia bukanlah satu ayat dari Al-Fatihah atau dari sesuatu surah
yang lain, yang dimulai dengan Basmalah itu. Ini adalah pendapat Imam
Malik beserta ahli qiraat dan fuqaha Madinah, Basrah dan Syam dan juga
pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Sebab itu menurut
Imam Abu Hanifah “Basmalah” itu tidak dikeraskan membacanya dalam salat
bahkan Imam Malik tidak membaca Basmalah sama sekali.
2.”Basmalah”
adalah salah satu ayat dari Al-Fatihah, dan dari sesuatu surah yang
lain, yang dimulai dengan “Basmalah”. Ini adalah pendapat Imam Syafii
beserta ahli qiraat Mekah dan Kufah. Sebab itu menurut mereka
“Basmalah” itu dibaca dengan suara keras dalam salat (Jahar).
Kalau
kita perhatikan bahwa sahabat-sahabat Rasulullah saw. telah sependapat
menuliskan “Basmalah” pada permulaan sesuatu surah dan surah-surah
Alquranul Karim itu, kecuali surah At-Taubah (karena memang dari semula
turunnya tidak dimulai dengan Basmalah) dan bahwa Rasulullah saw.
melarang menuliskan sesuatu yang bukan Alquran supaya tidak bercampur
aduk dengan Alquran. Sebab itu oleh mereka tidak dituliskan “amin” di
akhir surah Al-Fatihah. Basmalah itu adalah salah satu ayat dari
Alquran atau dengan perkataan lain bahwa “basmalah-basmalah” yang
terdapat di dalam Alquran itu adalah ayat-ayat Alquran, lepas dari
pendapat apakah satu ayat dari Al-Fatihah atau dari sesuatu surah yang
lain, yang dimulai dengan Basmalah atau tidak.
Sebagai disebutkan
di atas surah Al-Fatihah itu terdiri dari tujuh ayat. Mereka yang
berpendapat bahwa basmalah itu tidak termasuk satu ayat dari
Al-Fatihah, memandang:
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
adalah salah satu ayat, dengan demikian ayat-ayat Al-Fatihah itu tetap tujuh.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Dengan
menyebut nama Allah”, maksudnya “dengan menyebut nama Allah saya baca
atau saya mulai”. Seakan-akan Nabi berkata: “Saya baca surah ini dengan
menyebut nama Allah, bukan dengan menyebut nama saya sendiri, sebab
dia wahyu dari Tuhan, bukan dari saya sendiri. Maka basmalah di sini
mengandung arti bahwa Alquranul Karim itu wahyu dari Allah, bukan
karangan Muhammad saw. dan Muhammad itu hanyalah seorang pesuruh Allah
yang dapat perintah menyampaikan Alquran kepada manusia.
Pemakaian kata “Allah”
“Allah”
nama bagi Zat yang ada dengan sendiri-Nya (wajibul wujud). Kata
“Allah” itu hanya dipakai oleh bangsa Arab kepada Tuhan yang sebenarnya,
yang berhak disembah, yang mempunyai sifat-sifat kesempurnaan. Mereka
tidak memakai kata itu untuk tuhan-tuhan atau dewa-dewa mereka yang
lain.
Kata “Ar-Rahman” terambil dari “Ar-Rahmah” yang berarti
“belas kasihan”, yaitu suatu sifat yang menimbulkan perbuatan memberi
nikmat dan karunia.
Jadi kata “Ar-Rahman” itu ialah: Yang berbuat (memberi) nikmat dan karunia yang banyak.
Kata
“Ar-Rahim” juga terambil dari “Ar-Rahmah”, dan arti “Rahim” ialah:
Orang yang mempunyai sifat belas kasihan, dan sifat itu “tetap” padanya
selama-lamanya.
Maka Ar-Rahman Ar-Rahim (Arrahmanirrahim) itu
maksudnya: Tuhan itu telah memberi nikmat yang banyak dengan murah-Nya
dan telah melimpahkan karunia yang tidak terhingga, karena Dia adalah
bersifat belas kasihan kepada makhluk-Nya, dan oleh karena sifat belas
kasihan itu adalah suatu sifat yang tetap pada-Nya maka nikmat dan
karunia Allah itu tidak ada putus-putusnya.
Dengan demikian maka
kata-kata “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahim” itu kedua-duanya adalah diperlukan
dalam susunan ini, karena masing-masing mempunyai arti yang khusus.
Tegasnya
bila seseorang Arab mendengar orang mensifati Allah dengan Ar-Rahman,
maka terpahamlah olehnya bahwa Allah itu telah melimpahkan nikmat dan
karunia-Nya dengan banyak dan berlimpah-limpah. Tetapi bahwa limpahan
nikmat dan karunia yang banyak itu tetap, tidak putus-putus tidak dapat
dipahami dari lafaz Ar-Rahman itu saja. Karena itu perlulah diikuti
dengan Ar-Rahim, supaya orang mengambil pengertian bahwa limpahan
nikmat dan karunia serta kemurahan Allah itu tidak ada putus-putusnya.
Hikmah membaca basmalah
Seorang
muslim disuruh membaca basmalah di waktu mengerjakan sesuatu pekerjaan
yang baik. Yang demikian itu untuk mengingatkan bahwa pekerjaan yang
dikerjakannya itu adalah suruhan Allah, atau karena telah
diizinkan-Nya. Maka karena Allahlah dia mengerjakan pekerjaan itu dan
kepada-Nya dia meminta pertolongan supaya pekerjaan itu terlaksana
dengan baik dan berhasil.
Nabi saw. bersabda:
كل أمر ذي بال لايبدأ فيه ببسم الله فهو أبتر أي مقطوع الذنب ناقص
Sesuatu pekerjaan yang penting yang tidak dimulai dengan menyebut nama Allah adalah buntung, yakni tidak ada hasilnya.
Orang
Arab sebelum datang Islam mengerjakan sesuatu pekerjaan adalah dengan
menyebut Al-Lata dan Al-`Uzza, yaitu nama-nama berhala mereka. Sebab
itu Allah swt. mengajarkan kepada penganut-penganut agama Islam yang
telah mengesakan-Nya supaya mereka mengerjakan dengan menyebut nama
Allah.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam,(QS. 1:2)
Pada
ayat di atas Allah swt. memulai firman-Nya dengan menyebut “Basmalah”
untuk mengajarkan kepada hamba-Nya agar memulai sesuatu perbuatan yang
baik dengan menyebut basmalah itu, sebagai pernyataan bahwa dia
mengerjakan perbuatan itu karena Allah dan kepada-Nyalah dia memohonkan
pertolongan dan berkat. Maka pada ayat ini Allah swt. mengajarkan
hamba-Nya agar selalu memuji Allah.
“Al-Hamdu”.
الحمد
Memuji oleh karena sesuatu nikmat yang diberikan oleh yang dipuji atau karena sesuatu sifat keutamaan yang dimiliki-Nya.
Semua
nikmat yang telah dirasakan dan didapat di alam ini dari Allah, sebab
Dialah yang jadi sumber bagi semua nikmat. Yang mempunyai sifat-sifat
kesempurnaan, hanyalah Allah semata. Karena itu Allah sajalah yang
berhak dipuji.
Ada manusia dipuji orang berhubung jasanya yang
banyak atau akhlak dan budi pekertinya yang luhur, tetapi orang
memujinya itu pada hakekatnya memuji Tuhan, dengan disengaja atau tidak
karena Allahlah yang jadi pangkal bagi semua yang disebut itu.
Berhubung
nikmat Allah yang sangat banyak, dan berhubung sifat-sifat
kesempurnaan yang dipunyai oleh Allah, maka sudah selayaknyalah manusia
selalu memuji-Nya.
Orang yang menyebut “Alhamdulillah” bukanlah
hanya mengakui bahwa puji itu teruntuk bagi Allah semata, bahkan dengan
ucapannya itu dia memuji Allah.
Dapat juga seseorang memuji Allah dengan sebutan lain, yaitu:
الحمد لله
tetapi
حمدا لله
itulah
yang dipakaikan Allah di sini, karena susunan semacam itu mengandung
arti tetap, yakni dipahamkan di dalamnya bahwa Allah selamanya dipuji,
bukan sewaktu-waktu saja.
رب
arti
aslinya: “Yang Empunya” (pemilik) di dalamnya terkandung arti:
mendidik, yaitu menyampaikan sesuatu kepada keadaannya yang sempurna
dengan berangsur-angsur.
“Alamin” artinya “semesta alam”, yakni
semua jenis alam. Alam itu berjenis-jenis macamnya, yaitu alam
tumbuh-tumbuhan, alam binatang, alam manusia, alam benda, alam makhluk
yang bertubuh halus umpamanya malaikat, jin dan alam yang lain. Ada
ahli tafsir mengkhususkan “Alamin” di ayat ini kepada makhluk-makhluk
Allah yang berakal yaitu manusia, malaikat dan jin. Tetapi ini berarti
mempersempit arti kata yang sebenarnya amat luas.
Dengan demikian Allah itu Pendidik semesta alam tak ada suatu juga dari makhluk Allah itu terjauh dari didikan-Nya.
Tuhan
mendidik makhluk-Nya dengan seluas arti kata itu. Sebagai pendidik,
Dia menumbuhkan, menjaga, memberikan daya (tenaga) dan senjata kepada
makhluk itu guna kesempurnaan hidupnya masing-masing.
Siapa yang
memperhatikan perjalanan bintang-bintang, menyelidiki kehidupan
tumbuh-tumbuhan dan binatang di laut dan di darat, mempelajari
pertumbuhan manusia sejak dari rahim ibunya, sampai ke masa kanak-kanak
lalu menjadi manusia yang sempurna, tahulah dia bahwa tidak ada sesuatu
juga dari makhluk Tuhan yang terlepas dari penjagaan, pemeliharaan,
asuhan dan inayah-Nya.
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.(QS. 1:3)
Pada
ayat dua di atas Allah swt. menerangkan bahwa Dia adalah Tuhan semesta
alam. Maka untuk mengingatkan hamba kepada nikmat dan karunia yang
berganda-ganda, yang telah dilimpahkan-Nya, serta sifat dan cinta kasih
sayang yang abadi pada diri-Nya, diulang-Nya sekali lagi menyebut
“Ar-Rahmanir Rahim”. Yang demikian itu supaya lenyap dari pikiran mereka
gambaran keganasan dan kezaliman seperti raja-raja yang dipertuan,
yang bersifat sewenang-wenang.
Allah mengingatkan dalam ayat ini
bahwa sifat ketuhanan Allah terhadap hambanya bukanlah sifat keganasan
dan kezaliman, tetapi berdasarkan cinta dan kasih sayang.
Dengan
demikian manusia akan mencintai Tuhannya, dan menyembah Allah dengan
hati yang aman dan tenteram bebas dari rasa takut dan gelisah. Malah
dia akan mengambil pelajaran dari sifat-sifat Tuhan. Dia akan
mendasarkan pergaulan dan tingkah lakunya terhadap manusia sesamanya,
atau pun terhadap orang yang di bawah pimpinannya, malah terhadap
binatang yang tak pandai berbicara sekalipun atas sifat cinta dan kasih
sayang itu.
Karena dengan jalan demikianlah manusia akan mendapat rahmat dan karunia dari Tuhannya.
Rasulullah saw. Bersabda:
إنما يرحم الله من عباده الرحماء
Artinya:
Sesungguhnya Allah kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya yang pengasih.(H.R Tabrani)
الراحمون يرحمهم الرحمن تبارك و تعالي ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء
Artinya:
Orang-orang
yang kasih sayang Tuhan yang Rahman Tabaraka wa Taala akan kasih
sayang kepadanya. (Oleh karena itu) kasih sayanglah kamu semua kepada
semua makhluk yang di bumi niscaya semua makhluk yang di langit akan
kasih sayang kepada kamu semua. (H.R Ahmad, Abu Daud At Tarmizi dan Al
Hakim)
Dan sabda Rasulullah saw:
من رحم ولو ذبيحة عصفور رحمه الله يوم القيامة
Artinya:
Barang
siapa (orang) yang kasih sayang meskipun kepada seekor burung (pipit)
yang disembelih, Allah kasih sayang kepadanya pada hari kiamat. (H.R
Bukhari)
Maksud hadis tersebut ialah pada waktu menyembelih burung itu dengan sopan santun umpamanya dengan pisau yang tajam.
Dapat
pula dipahami dari urutan kata “Ar-Rahman”, “Ar-Rahim” itu, bahwa
penjagaan, pemeliharaan dan asuhan Tuhan terhadap semesta alam, bukanlah
lantaran mengharapkan sesuatu dari alam itu, hanya semata-mata karena
rahmat dan belas kasihan daripada-Nya.
Boleh jadi ada yang
terlintas pada pikiran orang, mengapa Tuhan mengadakan
peraturan-peraturan dan hukum-hukum, dan menghukum orang-orang yang
melanggar peraturan-peraturan itu?
Keragu-raguan ini akan hilang
bila diketahui bahwa Allah swt. mengadakan peraturan-peraturan dan
hukum-hukum, begitu juga menyediakan azab di akhirat atau di dunia
untuk hamba-Nya yang melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum itu,
bukanlah berlawanan dengan sifat Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha
Penyayang, karena peraturan dan hukum itu rahmat dari Tuhan; begitu
pula azab dari Allah terhadap hamba-Nya yang melanggar
peraturan-peraturan dan hukum-hukum itu sesuai dengan keadilan.
Yang menguasai hari pembalasan.(QS. 1:4)
Sesudah
Allah swt. menyebutkan beberapa sifat-Nya, yaitu: Tuhan semesta alam,
Yang Maha Pemurah, Maha Penyayang, maka diiringi-Nya dengan menyebutkan
satu sifat-Nya lagi, yaitu menguasai hari pembalasan.
“Malik” berarti “Yang Menguasai”
Ada
dua macam bacaan berkenaan dengan “Malik”, pertama dengan memanjangkan
“Maa”, kedua dengan memendekkannya. Menurut bacaan yang pertama,
“Maalik” artinya: Yang memiliki (yang empunya). Sedang menurut bacaan
yang kedua, artinya: Raja; kedua-dua bacaan itu dibolehkan.
Baik
menurut bacaan yang pertama, atau pun bacaan yang kedua, dapat dipahami
dari kata itu arti “berkuasa” dan bertindak dengan sepenuhnya. Sebab
itulah maka diterjemahkan dengan: “Yang menguasai”. “Yaum”, (hari)
artinya, tetapi yang dimaksud di sini ialah waktu secara mutlak.
“Ad-Din” itu banyak artinya, di antaranya:
1.Perhitungan
2.Ganjaran, pembalasan
3.Patuh
4.Menundukkan
5.Syariat, agama
Yang
selaras di sini ialah dengan arti “pembalasan”. Jadi “Maaliki
yaumiddin” maksudnya “Tuhan itulah yang berkuasa dan yang dapat
bertindak dengan sepenuhnya terhadap semua makhluk-Nya pada hari
pembalasan itu”.
Sebetulnya pada hari kemudian itu banyak hal-hal
yang terjadi, yaitu hari kiamat, hari berbangkit, hari berkumpul, hari
perhitungan, hari pembalasan, tetapi pembalasan sajalah yang disebut
oleh Tuhan di sini, karena itulah yang terpenting. Yang lain dari itu,
umpamanya kiamat, berbangkit dan seterusnya, pendahuluan dari
pembalasan itu, apalagi untuk targib dan tarhib (menarik dan menakuti)
dengan menyebut “hari pembalasan” itulah yang lebih tepat.
Hari akhirat menurut pendapat akal (filsafat)
Kepercayaan
tentang adanya hari akhirat, yang di hari itu akan diadakan
perhitungan terhadap perbuatan manusia di masa hidupnya dan diadakan
pembalasan yang setimpal, adalah suatu kepercayaan yang sesuai dengan
akal.
Sebab itu adanya hidup yang lain, sesudah hidup di dunia ini
bukanlah saja ditetapkan oleh agama, malah juga ditunjukkan oleh akal.
Seseorang
yang mau berpikir tentu akan merasa bahwa hidup di dunia ini belumlah
sempurna, perlu disambung dengan hidup yang lain. Alangkah banyaknya
hidup di dunia ini orang yang teraniaya telah pulang ke rahmatullah
sebelum mendapat keadilan. Alangkah banyaknya orang yang berjasa, biar
kecil atau besar, belum mendapat penghargaan terhadap jasanya. Alangkah
hanyaknya orang yang telah berusaha, memeras keringat dan peluh,
membanting tulang tetapi belum sempat lagi merasa buah usahanya itu.
Sebaliknya, alangkah banyaknya penjahat-penjahat, penganiaya, pembuat
onar yang tak dapat dipegang oleh pengadilan di dunia ini. Lebih-lebih
kalau yang melakukan kejahatan atau aniaya itu orang yang berkuasa
sebagai raja, pembesar dan lain-lain. Maka biar pun kejahatan dan
aniaya itu telah meratai bangsa seluruhnya tiadalah digugat orang,
malah dia tetap dipuja dan dihormati. Victor Hugo (1802-1885) pernah
menyindir keadaan ini dengan katanya, “Membunuh seorang manusia dalam
rimba adalah satu dosa yang tak dapat diampuni, tetapi membunuh suatu
bangsa seluruhnya adalah satu soal yang masih dapat dipertimbangkan.”
Maka di manakah akan didapat gerangan keadilan itu, kalau tidak ada
nanti mahkamah yang lebih tinggi, yaitu mahkamah Allah di hari
kemudian.
Sebab itu ahli-ahli pikir dari zaman dahulu telah ada
yang sampai kepada kepercayaan tentang adanya hari akhirat itu,
semata-mata dengan jalan berpikir. Antara lain Pythagoras; filosof ini
berpendapat bahwa hidup di dunia ini persediaan hidup yang abadi di
akhirat kelak. Sebab itu semenjak dari dunia hendaklah orang bersedia
untuk hidup yang abadi ini. Socrates, Plato dan Aristoteles, “Jiwa yang
baik akan merasai kenikmatan dan kelezatan di akhirat, tetapi bukan
kelezatan kebendaan, karena kelezatan kebendaan itu terbatas dan
mendatangkan bosan dan jemu. Hanya kelezatan rohani yang bagaimana pun
banyak dan lamanya, tiadalah menyebabkan bosan dan jemu.”
Kepercayaan Bangsa Arab Sebelum Islam tentang hari akhirat
Di
antara bangsa Arab sebelum datang agama Islam didapati beberapa ahli
pikir dan pujangga-pujangga yang telah mempercayai adanya hari kemudian
itu. Umpamanya Zuhair bin Abu Sulma yang meninggal dunia setahun
sebelum Nabi Muhammad saw. diutus Allah. Pujangga ini pernah berkata
yang artinya:
Sesuatu pekerti atau perbuatan seseorang yang menurut dugaannya tidak diketahui orang, pasti diketahui juga oleh Tuhan.
Sebab
itu janganlah disembunyikan kepada Allah sesuatu yang ada pada dirimu,
karena bagaimanapun kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan
mengetahuinya.
Dilambatkan membalasnya, maka ditulislah dalam buku disimpan sampai “hari perhitungan”, atau disegerakan maka diberi balasan.
Ada
pula di antara mereka yang tidak mempercayai adanya hari kemudian itu.
Dengarlah apa yang dikatakan oleh salah seorang penyair mereka:
“Hidup, sudah itu mati, sudah itu dibangkit lagi, itulah cerita dongeng hai fulan”.
Karena
itu, datanglah agama Islam membawa kepastian tentang adanya hari
kemudian. Di hari akan dihisab semua perbuatan yang telah dikerjakan
manusia selama hidupnya biar pun besar atau kecil. Allah swt. berfirman:
Barang
siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun niscaya dia akan
melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat
zarah pun niscaya akan melihat (balasan)nya pula. (Q.S Az Zalzalah:
7-8)
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Surat Al-Faatihah ayat 5: “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”.(QS.1:5)
إِيَّاكَ نَعْبُدُ
Kata Iyyaa dan ka adalah menjadi Maf’ul dari fi’il Mudhori Na’budu. Disitu Maf’ulnya didahulukan dari fi’ilnya, yang biasanya Maf’ul itu dibelakang fi’il. Oleh karena itu dia dinamai Maf’ul Muqoddam yang artinya Maf’ul yang didahulukan dari fi’ilnya, dan kata na’budu adalah fi’il mudhori yang didalamnya ada fa’ilnya yakni nahnu/kami.
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Kata wa adalah huruf Athaf yang mengathafkan/mengikutkan kalimat iyyaaka nasta’iinu yang ada di sesudahnya kepada kalimat iyyaaka na’budu yang ada disebelumnya, dan dua kata iyyaaka adalah Maf’ul Muqoddam/didahulukan dari fi’il mudhori nasta’iinu, dan kata nasta’iinu itu adalah fi’il mudhori yang didalamnya ada fa’ilnya yakni nahnu/kami.
PENJELASAN TAFSIR:
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.(QS. 1:5)
Di dalam ayat-ayat yang telah disebutkan empat macam dari sifat-sifat Tuhan, yaitu:
Pendidik semesta alam
Maha Pemurah
Maha Penyayang
Dan Yang menguasai hari pembalasan.
Sifat-sifat
yang disebutkan itu adalah sifat-sifat kesempurnaan yang hanya Allah
sajalah yang mempunyainya. Sebab itu pada ayat ini Allah mengajarkan
kepada hamba-Nya bahwa Allah sajalah yang patut disembah, dan
kepada-Nya sajalah seharusnya manusia memohonkan pertolongan, dan bahwa
hamba-Nya haruslah mengikrarkan yang demikian itu.
“Iyyaka” (hanya kepada Engkaulah).
Susunan ayat-ayat ini membawa pengertian “pengkhususan” yaitu pengkhususan “ibadah” kepada Allah.
Jadi
arti ayat ini: “Kepada Engkau sajalah kami tunduk dan berhina diri,
dan kepada Engkau sajalah kami memohonkan suatu pertolongan”.
Pertolongan yang khusus dimohonkan kepada Allah ialah tentang sesuatu yang di luar kemampuan dan kekuasaan manusia.
“Iyyaka”
dalam ayat ini diulang dua kali, gunanya untuk menegaskan bahwa ibadat
dan isti`anah itu masing-masing khusus dihadapkan kepada Allah. Selain
dari itu untuk dapat mencapai kelezatan munajat (berbicara) dengan
Allah. Karena bagi seorang hamba Allah yang menyembah dengan segenap
jiwa dan raganya tak ada yang lebih nikmat dan lezat pada perasaannya
daripada bermunajat dengan Allah.
Baik juga diketahui bahwa dengan
memakai “Iyyaka” itu berarti menghadapkan pembicaraan kepada Allah,
dengan maksud menghadirkan Allah swt. dalam ingatan, seakan-akan Dia
berada di muka kita, dan kepada-Nya dihadapkan pembicaraan dengan
khusyuk dan tawaduk. Seakan-akan kita berkata:
“Ya Allah, Zat
yang wajibul wujud. Yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan.
Yang menjaga dan memelihara semesta alam. Yang melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya dengan berlipat ganda. Yang berkuasa di hari pembalasan.
Engkau sajalah yang kami sembah, dan kepada Engkau sajalah kami meminta
pertolongan. Karena hanya Engkau yang berhak disembah dan hanya Engkau
yang dapat menolong kami”.
Dengan cara yang seperti itu orang
akan lebih khusyuk di dalam menyembah Allah dan lebih tergambar
kepadanya kebesaran Yang disembahnya itu.
Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya:
أن تعبد الله كأنك تراه
Artinya:
Hendaklah engkau menyembah Allah itu seakan-akan engkau melihat-Nya. (H.R Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab)
Karena
surah Al-Fatihah mengandung ayat munajat (berbicara) dengan Allah
menurut cara yang diterangkan merupakan rahasia diwajibkan membacanya
tiap-tiap rakaat dalam salat, karena itu jiwanya ialah munajat dengan
menghadapkan diri dan memusatkan ingatan kepada Allah.
“Na’budu”
pada ayat ini didahulukan menyebutkannya dari “nasta`iinu”, karena
menyembah Allah itu adalah suatu kewajiban manusia terhadap Tuhannya.
Tetapi pertolongan dari Tuhan kepada seseorang hamba-Nya adalah hak
hamba itu. Maka seakan-akan Tuhan mengajar hamba-Nya supaya menunaikan
kewajibannya lebih dahulu, sebelum ia menuntut haknya.
Melihat
kata-kata “na`budu” dan “nasta`iinu” (kami menyembah, kami minta
tolong), bukan a`budu” dan “asta`iinu” (saya menyembah dan saya minta
tolong) adalah untuk memperlihatkan kelemahan manusia itu, dan tidak
selayaknya mengemukakan dirinya seorang saja dalam menyembah dan memohon
pertolongan kepada Allah, seakan-akan penunaian kewajiban beribadat
dan permohonan pertolongan kepada Allah itu belum lagi sempurna kecuali
kalau dikerjakan dengan bersama-sama.
Kedudukan tauhid di dalam ibadat dan sebaliknya
Arti
“ibadat” sebagai disebutkan di atas ialah tunduk dan berhina diri
kepada Allah, yang disebabkan oleh kesadaran bahwa Allah yang
menciptakan alam ini, Yang menumbuhkan, Yang mengembangkan, Yang menjaga
dan memelihara serta Yang membawanya dari suatu keadaan kepada keadaan
yang lain hingga tercapai kesempurnaannya.
Tegasnya ibadat itu
timbulnya dari perasaan tauhid, maka orang yang suka memikirkan keadaan
alam ini, yang memperhatikan perjalanan bintang-bintang, kehidupan
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, bahkan yang mau memperhatikan
dirinya sendiri, yakinlah dia bahwa di balik alam yang zahir ada Zat
yang gaib yang mengendalikan alam ini, yang bersifat dengan segala
sifat kesempurnaan, yakni Dialah Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha
Mengetahui dan sebagainya. Maka tumbuhlah dalam sanubarinya perasaan
bersyukur dan berutang budi kepada Zat Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih
dan Maha Mengetahui itu.
Perasaan inilah yang menggerakkan
bibirnya untuk menuturkan puji-pujian, dan yang mendorong jiwa dan
raganya untuk menyembah dan berhina diri kepada Allah Yang Maha Kuasa
itu sebagai pernyataan bersyukur dan membalas budi kepada-Nya.
Tetapi
ada juga manusia yang tidak mau berpikir, dan selanjutnya tidak sadar
akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan, sering melupakan-Nya, sebab itulah
maka tiap-tiap agama disyariatkan bermacam-macam ibadat, gunanya untuk
mengingatkan manusia kepada kebesaran dan kekuasaan Allah itu.
Dengan
keterangan ini kelihatanlah bahwa tauhid dan ibadat itu
pengaruh-mempengaruhi dengan arti tauhid menumbuhkan ibadat dan ibadat
memupuk tauhid.
Pengaruh ibadat terhadap jiwa manusia
Tiap-tiap
ibadat yang dikerjakan karena didorong oleh perasaan yang disebutkan
itu, niscaya ada kesannya kepada tabiat dan budi pekerti orang yang
beribadat itu. Umpamanya orang yang mendirikan salat karena sadar akan
kebesaran dan kekuasaan Allah, dan didorong oleh perasaan bersyukur dan
berutang budi kepada-Nya, akan terjauhlah dia dari perbuatan-perbuatan
yang tidak baik, yang dilarang Allah. Dengan demikian salatnya itu
akan mencegahnya dari mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak baik
itu, sesuai dengan firman Allah swt.:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ
Artinya:
Sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. (Q.S Al Ankabut: 45)
Begitu
juga ibadat puasa. Ibadat ini akan menimbulkan perasaan cinta dan
kasih sayang terhadap orang-orang yang melarat dan miskin pada diri
orang yang berpuasa itu. Dan seterusnya dengan ibadat-ibadat yang lain.
Tetapi ibadat yang bukan ditimbulkan oleh keyakinan kepada kebesaran
dan kekuasaan Allah, dan bukan pula didorong oleh perasaan bersyukur
dan berutang budi kepada Allah itu, hanya karena turut-turutan, atau
karena memelihara tradisi yang sudah turun-temurun, bukanlah ibadat
yang sebenarnya, dan kendatipun dia mempunyai rupa dan bentuk ibadat,
tetapi tidak ada mempunyai jiwa ibadat itu, tak ubahnya dengan gambar
atau patung, bagaimana pun juga miripnya dengan manusia, tidaklah
dinamai manusia. Selanjutnya ibadat yang semacam itu tidak ada kesan
dan buahnya kepada tabiat dan akhlak orang yang beribadat itu.
Berusaha berdoa dan bertawakal
“Isti`anah”
(memohon pertolongan) sebagai disebutkan di atas khusus dihadapkan
kepada Allah, dengan arti bahwa tidak ada yang berhak dimohonkan
pertolongannya kecuali Allah.
Dalam pada itu, pada ayat yang lain Allah menyuruh manusia bertolong-tolongan dalam mengerjakan kebaikan. Allah berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
Artinya:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa. (Q.S Al Ma’idah: 2)
Adakah pertentangan antara dua ayat itu? Tidak
Tercapainya
sesuatu maksud, atau terlaksananya suatu pekerjaan dengan baik adalah
tergantung kepada cukupnya syarat-syarat yang dibutuhkan dalam
melaksanakan pekerjaan itu, dan tidak adanya rintangan-rintangan yang
akan menghalanginya.
Manusia telah diberi Allah tenaga, baik yang
berupa pikiran maupun yang berupa kekuatan tubuh, untuk dipakai guna
mencukupkan syarat-syarat, atau menolak rintangan-rintangan dalam
menuju suatu maksud, atau mengerjakan sesuatu pekerjaan. Tetapi ada di
antara syarat-syarat itu yang tidak kuasa manusia mencukupkannya,
sebagaimana di antara rintangan itu ada yang di luar kekuasaan manusia
menolaknya. Begitu pula ada di antara syarat-syarat itu atau di antara
halangan-halangan itu yang tidak dapat diketahui. Maka kendatipun
menurut pikirannya dia telah mencukupkan semua syarat-syarat yang
diperlukan, dan telah menjauhkan semua rintangan-rintangan yang
menghalangi, tetapi hasil pekerjaannya itu belum lagi sebagai yang
dicita-citakannya. Jadi ada hal-hal yang tidak masuk dalam batas
kekuasaan dan kemampuan manusia. Itulah yang dimintakan pertolongan
khusus kepada Allah. Sebaiknya tentang sesuatu yang termasuk dalam
batas kekuasaan dan kemampuan manusia, dia disuruh bertolong-tolongan,
supaya tenaga menjadi kuat, dan agar ada pada masing-masing manusia
sifat cinta-mencintai, harga-menghargai, dan gotong-royong.
Dengan
perkataan lain, manusia disuruh Allah berusaha dengan sekuat tenaga,
dan disuruh tolong-menolong, bantu-membantu. Di samping menjalankan
ikhtiar dan usahanya itu, dia harus pula berdoa, memohon taufik,
hidayah dan ma`unah. Ini hendaknya dimohonkannya khusus kepada Allah,
karena hanyalah Dia yang kuasa memberinya. Sesudah itu semua, barulah
dia bertawakal kepada-Nya.
Ibadat itu sendiri pun sesuatu
pekerjaan yang berat, sebab itu haruslah dimintakan ma`unah dari Allah
supaya semua ibadat terlaksana sebagai yang dimaksud oleh agama. Maka
seseorang menuturkan bahwa hanya kepada Allahlah kita beribadat,
diikuti lagi dengan pernyataan bahwa kepada-Nya saja minta pertolongan,
terutama pertolongan agar amal ibadat terlaksana sebagaimana mestinya.
Ayat di atas, sebagai telah disebutkan, mengandung tauhid, karena
beribadat semata-mata kepada Allah dan meminta ma`unah khusus
kepada-Nya, adalah intisari agama, dan kesempurnaan tauhid.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus (QS.1:6)
اهْدِنَا
Kata Ihdi adalah fi’il Amer/perintah yang didalamnya ada Fa’ilnya yakni anta/engkau, dan kata naa yang berasal dari dhomir nahnu itu adalah menjadi Maf’ul dari fi’il Amer Ihdi, dan fi’il Amer ihdi yang artinya hendaklah engkau menunjuki itu mempunyai dua Maf’ul, dan kata naa yang ada di sesudahnya itu menjadi Maf’ul pertamanya.
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Kata Ash-Shirootho yang disifati dengan kata Al-Mustaqiima itu adalah menjadi Maf’ul kedua dari fi’il Amer ihdi yang ada di sebelumnya, dan kata sifat itu selalu mengikuti dari kata yang disifatinya, oleh karena itu kata al-mustaqiima dinasobkan mengikuti kata ash-shirootho yang dinasobkan, dan kata sifat al-mustaqiima terdiri dari kata benda tunggal karena kata ash-shirootho terdiri dari kata benda tunggal, dll.
PENJELASAN TAFSIR:
Tunjukilah kami jalan yang lurus,(QS. 1:6)
“Ihdi”: Pimpinlah, tunjukilah, berilah hidayah
Arti “hidayah” ialah: Menunjukkan sesuatu jalan atau cara menyampaikan orang kepada orang yang ditujunya dengan baik.
Macam-macam hidayah petunjuk)
Allah telah memberi manusia bermacam-macam hidayah, yaitu:
1. Hidayah naluri (garizah)
Manusia
begitu juga binatang-binatang, dilengkapi oleh Allah dengan
bermacam-macam sifat, yang timbulnya bukanlah dari pelajaran, bukan pula
dari pengalaman, melainkan telah dibawanya dari kandungan ibunya.
Sifat-sifat ini namanya “naluri”, dalam bahasa Arab disebut “garizah”.
Umpamanya,
naluri “ingin memelihara diri” (mempertahankan hidup). Kelihatan oleh
kita seorang bayi bila merasa lapar dia menangis. Sesudah terasa di
bibirnya mata susu ibunya, dihisapnyalah sampai hilang laparnya.
Perbuatan
ini dikerjakannya tak seorang juga yang mengajarkan kepadanya, bukan
pula timbul dari pengalamannya, hanyalah semata-mata ilham dan petunjuk
dari Allah kepadanya untuk mempertahankan hidupnya.
Kelihatan
pula oleh kita lebah membuat sarangnya, laba-laba membuat jaringnya,
semut membuat lobangnya dan menimbun makanan dalam lubang itu. Semua
itu dikerjakan oleh binatang-binatang tersebut ialah untuk
mempertahankan hidupnya dan memelihara dirinya masing-masing dengan
dorongan nalurinya semata-mata.
Banyak lagi naluri yang lain,
umpamanya garizah ingin tahu, ingin mempunyai, ingin berlomba-lomba,
ingin bermain, ingin meniru, takut dan lain-lain.
Sifat-sifat garizah
Garizah-garizah
itu sebagai disebutkan terdapat pada manusia dan binatang, hanya
perbedaannya ialah garizah manusia bisa menerima pendidikan dan
perbaikan, tetapi garizah binatang tidak, sebab itulah manusia bisa
maju tetapi binatang tidak, hanya tetap seperti sediakala.
Garizah-garizah
itu adalah dasar bagi kebaikan sebagaimana dia pun juga dasar bagi
kejahatan. Umpamanya karena garizah ingin memelihara diri, orang
berusaha, berniaga, bertani, artinya mencari nafkah secara halal.
Tetapi karena garizah “ingin memelihara diri” itu pulalah orang mencuri,
menipu, merampok dan lain-lain. Karena garizah “ingin tahu” pulalah
orang suka mencari-cari aib dan rahasia sesamanya, yang mengakibatkan
permusuhan dan persengketaan. Demikianlah seterusnya dengan
garizah-garizah yang lain.
Garizah-garizah itu tidak dapat
dihilangkan dan tidak ada faedahnya membunuhnya. Ada ahli pikir dan
pendidik yang hendak memadamkan garizah karena melihat seginya yang
tidak baik (jahat) itu, sebab itu diadakan oleh mereka macam-macam
peraturan untuk mengikat kemerdekaan anak-anak supaya garizah itu
jangan tumbuh, atau mana yang telah tumbuh menjadi mati. Tetapi
perbuatan mereka itu besar bahayanya terhadap pertumbuhan akal, tubuh
dan akhlak anak-anak. Dan bagaimanapun orang berusaha hendak membunuh
garizah itu, namun ia tidak akan mati.
Boleh jadi karena kerasnya
tekanan dan kuatnya rintangan terhadap sesuatu garizah, maka kelihatan
dia telah padam tetapi manakala ada yang membangkitkannya, timbullah
dia kembali. Oleh karena itu kendatipun garizah itu dasar bagi
kebaikan, sebagaimana dia juga dasar bagi kejahatan, tetapi kewajiban
manusia bukanlah menghilangkannya, hanya mendidik dan melatihnya,
supaya dapat dimanfaatkan dan disalurkan ke arah yang baik.
Allah
telah menganugerahkan kepada manusia bermacam-macam garizah untuk jadi
hidayah (petunjuk) yang akan dipakai dengan cara bijaksana oleh
manusia itu.
2. Hidayah Pancaindra
Karena
garizah itu sifatnya belum pasti sebagai disebutkan di atas, maka ia
belum cukup untuk jadi hidayah bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia
dan di akhirat. Sebab itu oleh Allah swt. manusia dilengkapi lagi
dengan pancaindra. Pancaindra itu sangat besar harganya terhadap
pertumbuhan akal dan pikiran manusia, sebab itu ahli-ahli pendidikan
berkata:
الحواس أبواب المعرفة
Artinya:
Pancaindra itu adalah pintu-pintu pengetahuan.
Maksudnya
ialah dengan jalan pancaindra itulah manusia dapat berhubungan dengan
alam yang di luar, dengan arti bahwa sampainya sesuatu dari alam yang
di luar ini ke dalam otak manusia adalah pintu-pintu pancaindra itu.
Tetapi
garizah ditambah dengan pancaindra, juga belum cukup lagi untuk jadi
pokok-pokok kebahagiaan manusia. Banyak lagi benda-benda dalam alam ini
yang tidak dapat dilihat oleh mata. Banyak macam suara yang tidak
dapat didengar oleh telinga. Malah selain dari alam mahsusat (yang dapat
ditangkap oleh pancaindra), ada lagi alam ma’qulat (yang hanya dapat
ditangkap oleh akal).
Selain dari pancaindra itu hanya dapat
menangkap alam mahsusat, tangkapannya tentang yang mahsusat itupun
tidak selamanya betul, kadang-kadang salah. Inilah yang dinamakan dalam
ilmu jiwa “illusi optik” (tiupan pandangan), dalam bahasa Arab
disebut, “khida’an nazar”. Sebab itu manusia membutuhkan lagi hidayah
yang kedua itu. Maka dianugerahkan lagi oleh Allah hidayah yang ketiga,
yaitu “hidayah akal”.
3. Hidayah akal (pikiran)
a. Akal dan kadar kesanggupannya
Dengan
adanya akal itu dapatlah manusia menyalurkan garizah ke arah yang baik
agar garizah itu menjadi pokok bagi kebaikan, dan dapatlah manusia
membetulkan kesalahan-kesalahan pancaindranya, membedakan buruk dengan
baik. Malah sangguplah dia menyusun mukadimah untuk menyampaikannya
kepada natijah, mempertalikan akibat dengan sebab, memakai yang mahsusat
sebagai tangga kepada yang ma’qulat, mempergunakan yang dapat dilihat,
diraba dan dirasai untuk menyampaikannya kepada yang abstrak, maknawi
dan gaib, mengambil dalil dari adanya makhluk untuk adanya khalik, dan
begitulah seterusnya.
Tetapi akal manusia juga belum lagi memadai
untuk membawanya kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat di
samping berbagai macam garizah dan pancaindra itu.
Apalagi
pendapat akal itu bermacam-macam, yang baik menurut pikiran si A belum
tentu baik menurut pandangan si B, malah banyak manusia yang masih
mempergunakan akalnya, atau akalnya dikalahkan oleh hawa nafsu dan
sentimennya. Hingga yang buruk itu menjadi baik dalam pandangannya dan
yang baik itu menjadi buruk.
Dengan demikian nyatalah bahwa
garizah ditambah dengan pancaindra ditambah pula dengan akal belum lagi
cukup untuk menjadi hidayah yang akan menyampaikan manusia kepada
kebahagiaan hidup jasmani dan rohani, di dunia dan akhirat.
Oleh
karena itu manusia membutuhkan suatu hidayah lagi, di samping
pancaindra dan akalnya itu, yaitu hidayah agama yang dibawa oleh para
rasul `alaihimus shalatu wassalam.
b. Bibit agama dan akidah tauhid pada jiwa manusia
Dalam
pada itu kalau diperhatikan agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan
yang diciptakan oleh manusia (Al-Adyan Al-Wad’iyyah) kelihatan pada
jiwa manusia telah ada bibit-bibit suka beragama. Yang demikian itu
karena manusia itu mempunyai sifat merasa berhutang budi suka berterima
kasih dan membalas budi kepada orang yang berbuat baik kepadanya. Maka
di kala diperhatikan dirinya dan alam yang di sekelilingnya, umpamanya
roti yang dimakannya, tumbuh-tumbuhan yang ditanamnya, binatang ternak
yang digembalakannya, matahari yang memancarkan sinarnya, hujan yang
turun dari langit yang menumbuhkan tanam-tanaman, akan merasa berutang
budilah dia kepada “suatu Zat” yang gaib yang telah berbuat baik dan
melimpahkan nikmat yang besar itu kepadanya.
Didapatnyalah dengan
akalnya bahwa Zat yang gaib itulah yang menciptakannya, yang
menganugerahkan kepadanya dan kepada jenis manusia seluruhnya, segala
sesuatu yang ada di alam ini, segala sesuatu yang dibutuhkannya untuk
memelihara diri dan mempertahankan hidupnya.
Karena dia merasa
berutang budi kepada suatu Zat Yang Gaib itu, maka dipikirkannyalah
bagaimana cara berterima kasih dan membalas budi itu, atau dengan
perkataan lain bagaimana cara “menyembah Zat Yang Gaib itu”.
Akan
tetapi masalah bagaimana cara menyembah Zat Yang Gaib itu, adalah suatu
masalah yang sukar, yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia. Sebab
itu di dalam sejarah kelihatan bahwa tidak pernah adanya keseragaman
dalam hal ini. Bahkan akal pikirannya akan membawanya kepada
kepercayaan membesarkan alam di samping membesarkan Zat Yang Gaib itu.
Karena
pikirannya masih bersahaja dan karena belum dapat dia menggambarkan di
otaknya bagaimana menyembah “Zat Yang Gaib”, maka dipilihlah di antara
alam ini sesuatu yang besar, atau yang indah, atau yang banyak
manfaatnya, atau sesuatu yang ditakutinya untuk jadi pelambang bagi Zat
Yang Gaib itu.
Pernah dia mengagumi matahari, bulan dan
bintang-bintang, atau sungai-sungai, binatang dan lain-lain, maka
disembahnyalah benda-benda itu, sebagai lambang bagi menyembah Tuhan
atau Zat Yang Gaib itu, dan diciptakannyalah cara-cara beribadah
(menyembah) benda-benda itu.
Dengan ini timbullah pula suatu macam
kepercayaan, yang dinamakan “Kepercayaan menyembah kekuatan alam”,
sebagai yang terdapat di Mesir, Kaldania, Babilonia, Assyiria dan di
tempat-tempat lain di zaman purbakala.
Dengan keterangan itu
kelihatanlah bahwa manusia menurut fitrahnya suka beragama, suka
memikirkan dari mana datangnya alam ini, dan ke manakah kembalinya.
Bila
dia memikirkan dari mana datangnya alam ini, akan sampailah dia pada
keyakinan tentang adanya Tuhan, bahkan akan sampailah dia kepada
keyakinan tentang keesaan Tuhan itu (tauhid), karena akidah (keyakinan)
tentang keesaan inilah yang lebih mudah, dan lebih lekas dipahami oleh
akal manusia. Karena itu dapatlah kita tegaskan bahwa manusia itu
menurut nalurinya adalah beragama tauhid.
Sejarah telah
menerangkan bahwa bangsa Kaldania pada mulanya adalah beragama tauhid,
barulah kemudian mereka menyembah matahari, planet- planet dan
bintang-bintang yang mereka simbolkan dengan patung-patung. Sesudah
Raja Namruz meninggal, mereka pun mendewakan dan menyembah Namruz itu.
Bangsa Assyiria pun pada asalnya beragama tauhid, kemudian mereka telah
lupa kepada akidah tauhid itu dan mereka persekutukanlah Tuhan dengan
binatang-binatang, dan inilah yang dipusakai oleh orang-orang
Babilonia.
Adapun bangsa Mesir, maka bila diperhatikan
nyanyian-nyanyian yang mereka nyanyikan dalam upacara-upacara
peribadatan, jelaslah bahwa bukan seluruh bangsa Mesir purbakala itu
orang-orang musyrik dan wasani, melainkan di antara mereka juga ada
orang-orang muwahhidin, penganut akidah tauhid. Di dalam
nyanyian-nyanyian itu terdapat ungkapan berikut:
“Dialah Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya”
“Dia mencintai seluruh makhluk, sedang dia sendiri tak ada yang menciptakan-Nya”
“Dialah Tuhan Yang Maha Agung, Pemilik langit dan bumi dan pencipta seluruh makhluk”
Umat
manusia yang dengan akalnya itu telah sampai kepada akidah tauhid.
Akidah tauhid ini sering menjadi kabur, atau tidak murni lagi, dan
jadilah mempersekutukan Tuhan yang menonjol di antara mereka. Biar pun
pendeta-pendeta mereka masih tetap dalam ketauhidannya, akan tetapi
pendeta-pendeta ini kadang-kadang takut atau segan untuk memberantas
kepercayaan mempersekutukan Tuhan itu, bahkan ikut hanyut dalam arus
masyarakat, yakni arus mempersekutukan Tuhan.
Dapat ditegaskan
bahwa akidah tauhid ini tidak pernah lenyap sama sekali, melainkan
kepercayaan kepada adanya suatu Zat Yang Maha Esa itu tetap ada. Dialah
Pencipta seluruh yang ada ini. Tuhan-tuhan atau dewa-dewa yang lain
itu mereka anggap hanyalah sebagai pembantu dan pelayan atau simbol
Yang Maha Esa itu.
c. Pendapat Bangsa Arab sebelum Islam tentang Khalik (Pencipta)
Bangsa
Arab sendiri pun sebelum datang agama Islam, kalau ditanyakan kepada
mereka, “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi ini?” Mereka
menjawab, “Allah.” Dan kalau ditanyakan, “Adakah Al-Lata dan Al-Uzza itu
menjadikan sesuatu yang ada alam ini”? Mereka menjawab, “Tidak.”
Mereka sembah dewa-dewa itu hanya untuk mengharapkan perantaraan dan
syafaat dari mereka terhadap Tuhan yang sebenarnya. Allah swt.
berfirman menceritakan perkataan musyrikin Arab itu:
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
Artinya:
Kami
tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan (kedudukan)
kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. (Q.S Az Zumar: 3)
d. Kepercayaan tentang akhirat bisa dicapai oleh akal
Manakala
manusia itu memikirkan ke manakah kembalinya alam ini, akan sampailah
dia pada keyakinan bahwa di balik hidup di dunia yang fana ini akan ada
lagi hidup di hari kemudian yang kekal dan abadi. Tetapi dapatkah
manusia dengan akal dan pikirannya semata-mata mengetahui apakah yang
perlu dikerjakan atau dijauhinya sebagai persiapan untuk kebahagiaan di
hari kemudian (hari akhirat) itu? Jawabnya tentu saja tidak, sejarah
pun telah membuktikan hal ini.
Dengan demikian dapatlah
disimpulkan bahwa manusia telah diberi Allah akal untuk jadi hidayah
baginya, di samping garizah dan pancaindra. Tetapi hidayah akal itu
belumlah mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat.
Begitu
juga manusia mempunyai tabiat suka beragama, dan dengan akalnya dia
kadang-kadang telah sampai kepada tauhid. Akan tetapi tauhid yang telah
dicapainya dengan akalnya itu sering pula menjadi kabur dan tidak
murni lagi.
Dalam pada itu manusia dengan mempergunakan akalnya
juga dapat sampai kepada kesimpulan tentang adanya akhirat, akan tetapi
hidayah akal itu belumlah mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di
dunia dan akhirat. Maka untuk menyampaikan manusia kepada akidah tauhid
yang murni, yang tidak dicampuri sedikit juga oleh
kepercayaan-kepercayaan menyembah dan membesarkan selain Allah, dan
untuk membentangkan jalan yang benar yang akan ditempuhnya dalam
perjalanan mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat dan untuk
jadi pedoman bagi hidupnya di dunia ini, dia membutuhkan hidayah yang
lain di samping hidayah-hidayah yang telah disebutkan itu. Maka
didatangkanlah oleh Allah hidayah yang keempat yaitu “agama” yang
dibawa oleh para rasul.
4. Hidayah agama
a. Pokok-pokok agama ketuhanan
Karena
hal-hal yang disebutkan itu, maka diutuslah oleh Allah rasul-rasul
untuk membawa agama yang akan menunjukkan kepada manusia jalan yang
harus mereka tempuh untuk kebahagiaan mereka dunia dan akhirat.
Adalah
yang mula-mula ditanamkan oleh rasul-rasul itu kepercayaan tentang
adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya,
guna membersihkan iktikad manusia dari kotoran syirik (mempersekutukan
Tuhan).
Rasul membawa manusia kepada kepercayaan tauhid itu dengan
melalui akal dan logika, yaitu dengan mempergunakan dalil-dalil yang
tepat dan logis. (Ingatlah kepada soal-jawab antara Nabi Ibrahim dengan
Namruz, Nabi Musa dengan Firaun, dan seruan-seruan Alquran kepada kaum
musyrikin Quraisy agar mereka mempergunakan akal).
Di samping
kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa, rasul-rasul juga membawa
kepercayaan tentang akhirat dan malaikat-malaikat.
Percaya kepada
adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya,
serta adanya malaikat dan hari kemudian itu, itulah yang dinamakan
Al-Iman bil Gaib (percaya kepada yang gaib). Dan itulah yang jadi pokok
bagi semua agama Ketuhanan, dengan arti bahwa semua agama yang
datangnya dari Tuhan mempercayai keesaan Tuhan, serta malaikat dan hari
akhirat.
Di samping `aqaid (kepercayaan-kepercayaan) yang
disebutkan itu, rasul-rasul juga membawa hukum-hukum,
peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-pelajaran.
Hukum-hukum
dan peraturan-peraturan ini berlain-lainan, artinya apa yang diturunkan
kepada Nabi Ibrahim tidak sama dengan yang diturunkan kepada Nabi
Musa, dan apa yang dibawa oleh Nabi Isa tidak serupa dengan yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saw.
Sebabnya ialah karena hukum-hukum dan
peraturan-peraturan itu haruslah sesuai dengan keadaan tempat dan masa.
Maka syariat yang dibawa oleh nabi-nabi itu adalah sesuai dengan
masanya masing-masing. Jadi yang berlain-lainan itu ialah hukum-hukum
furu` (cabang-cabang), sedangkan pokok-pokok hukum agama seperti akidah
adalah sama.
Berhubung Muhammad saw. adalah seorang nabi penutup
maka syariat yang dibawanya, diberi oleh Tuhan sifat-sifat tertentu
agar sesuai dengan segala masa dan keadaan.
b. Hidayah yang dimohonkan kepada Tuhan
Agama
Islam sebagai hidayah dan senjata hidup yang penghabisan, atau jalan
kebahagiaan yang terakhir, telah dianugerahkan Tuhan, tetapi adakah
orang pandai mempergunakan senjata itu, dan adakah semua hamba Allah
sukses dalam menempuh jalan yang dibentangkan oleh Tuhan.
Tidak
banyak manusia yang pandai menerapkan agama, beribadat (menyembah
Allah) sebagai yang diridai oleh yang disembah, bahkan pelaksanaan
syariat tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh Pembuat syariat itu.
Karena
itu kita diajari Allah memohonkan kepada-Nya agar diberi-Nya ma`unah,
dibimbing dan dijaga-Nya selama-lamanya serta diberi-Nya taufik agar
dapat memakai semua macam hidayah yang telah dianugerahkan-Nya itu
menurut semestinya. Garizah-garizah supaya dapat disalurkan ke arah
yang baik, pancaindra supaya berfungsi betul, akal supaya sesuai dengan
yang benar, tuntunan-tuntunan agama agar dapat dilaksanakan menurut
yang dimaksud oleh yang menurunkan agama itu dengan tidak ada cacat,
janggal dan salah.
Tegasnya manusia yang telah diberi Tuhan
bermacam-macam hidayah yang disebutkan di atas (garizah-garizah,
pancaindra, akal dan agama) belum dapat mencukupkan semata-mata
hidayah-hidayah itu saja, tetapi dia masih membutuhkan ma`unah dan
bimbingan dari Allah (yaitu taufik-Nya).
Maka ma`unah dan bimbingan itulah yang kita mohonkan dan kepada Allah sajalah kita hadapkan permohonan itu.
Dengan
perkataan lain, Allah telah memberi kita hidayah-hidayah tersebut, tak
ubahnya seakan-akan Dia telah membentangkan di muka kita jalan raya
yang menyampaikan kepada kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi, maka
yang dimohonkan kepada-Nya lagi ialah “membimbing kita dalam menjalani
jalan yang telah terbentang itu”.
Dengan ringkas hidayah dalam
ayat “ihdinassiratal mustaqim” ini berarti “taufik” (bimbingan), dan
taufik itulah yang dimohonkan di sini kepada Allah.
Taufik ini
dimohonkan kepada Allah sesudah kita berusaha dengan sepenuh tenaga,
pikiran dan ikhtiar, karena berusaha dengan sepenuh tenaga adalah
kewajiban kita, tetapi sampai berhasil sesuatu usaha adalah termasuk
kekuasaan Allah. Dengan ini kelihatanlah pertalian ayat ini dengan ayat
yang sebelumnya. Ayat yang sebelumnya Allah mengajari hamba-Nya supaya
menyembah memohonkan pertolongan kepada-Nya, sedangkan pada ayat ini
Allah menerangkan apa yang akan dimohonkan, dan bagaimana
memohonkannya.
Maka tak ada pertentangan antara kedua firman Allah tersebut dan firman Allah yang ditujukan kepada Nabi yang berbunyi:
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Artinya:
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Q.S Asy Syura: 52)
Dan firman-Nya:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Artinya:
Sesungguhnya
kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi
tetapi Allahlah yang dapat memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya. (Q.S Al Qasas: 56)
Sebab yang dimaksud dengan
hidayah pada ayat pertama, ialah menunjukkan jalan yang harus ditempuh,
dan ini memang adalah tugas nabi. Tetapi yang dimaksud dengan hidayah
pada ayat kedua ialah membimbing manusia dalam menempuh jalan itu dan
memberikan taufik agar sukses dan berbahagia dalam perjalanannya, dan
ini tidaklah masuk dalam kekuasaan Nabi, hanya adalah hak Allah
semata-mata.
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Artinya:
Jalan yang lurus (yang menyampaikan kepada yang dituju). (Q.S Al Fatihah: 6)
Apakah yang dimaksud dengan jalan lurus itu?
Di
atas telah diterangkan bahwa rasul-rasul telah membawa `aqaid
(kepercayaan-kepercayaan) hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak, dan
pelajaran-pelajaran. Pendeknya telah membawa segala sesuatu yang perlu
untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Maka aqaid,
hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-pelajaran
itulah yang dimaksud dengan jalan lurus itu, karena dialah yang
menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
sebagai disebutkan.
Jadi dengan menyebut ayat ini seakan-akan kita
memohon kepada Tuhan: “Bimbing dan beri taufiklah kami, ya Allah dalam
melaksanakan ajaran-ajaran agama kami. Betulkanlah kepercayaan kami.
Bimbing dan beri taufiklah kami dalam melaksanakan kepercayaan kami.
Bimbing dan beri taufiklah kami dalam melaksanakan hukum,
peraturan-peraturan, serta pelajaran-pelajaran agama kami. Jadikanlah
kami mempunyai akhlak yang mulia, agar berbahagia hidup kami di dunia
dan akhirat”.
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
(yaitu)
jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka,
bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat.
(QS.1:7)
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
Kata Shirootho dimudofkan kepada al-ladziina, dan kata an’amta adalah fi’il Madi yang didalamnya ada Fa’il nya yakni anta/engkau, dan kata ‘alaihim itu terdiri dari huruf Jar ‘alaa, dan Majrur nya/yang dijarkan olehnya adalah Dhomir him, dan Jar Majrur ‘alaihim itu menjadi Muta’alliq/berhubungan dengan fi’il Madi an’amta jadi kata shiroothol ladzinina an’amta ‘alaihim adalah menjadi Badal/ganti dari kata ash-shiroothol mustaqiima.
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
Kata ghoiri dimudofkan kepada kata al-maghdluubi, dan kata al-maghdluubi itu dijarkan karena menjadi Mudof Ilaih dari kata ghoiri, dan kata ‘alaihim terdiri dari huruf Jar ‘ala dan Domir him yang dijarkan olehnya, dan Jar Majrur ‘alaihim itu dalam posisi Rofa’ menjadi Na’ibul Fa’il dari Isim Maf’ul alh-maghdluubi ‘alaihim itu menjadi Badal atau sifat dari Mudof Ilaih al-ladziina an’amta ‘alaihim.
وَلا الضَّالِّينَ
Kata wa adalah huruf Athaf yang mengathafkan kata ladldloolliina kepada ghoiril-maghdluubil-’alaihim.
PENJELASAN TAFSIR
(yaitu)
jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat.(QS. 1:7)
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Setelah
Allah swt. mengajarkan kepada hamba-Nya untuk memohonkan kepada Allah
agar selalu dibimbing-Nya menuju jalan yang lurus dan benar, maka pada
ayat ini Tuhan menerangkan apa jalan yang lurus itu.
Sebelum
Alquranul Karim diturunkan, Tuhan telah menurunkan kitab-kitab suci-Nya
yang lain, dan sebelum Nabi Muhammad diutus Allah telah mengutus
rasul-rasul, karena sebelum umat yang sekarang ini telah banyak umat
terdahulu.
Di antara umat-umat yang terdahulu itu terdapat
nabi-nabi, siddiqin yang membenarkan rasul-rasul dengan jujur dan
patuh, syuhada yang telah mengorbankan jiwa dan harta untuk kemuliaan
agama Allah, dan orang-orang saleh yang telah membuat kebajikan dan
menjauhi larangan Allah.
Mereka itulah orang-orang yang telah
diberi nikmat oleh Allah, dan kita diajar Tuhan supaya memohonkan
kepada-Nya, agar diberi-Nya taufik dan bimbingan sebagaimana Dia telah
memberi taufik dan membimbing mereka. Artinya sebagaimana mereka telah
berbahagia dalam aqaid, dan dalam menjalankan hukum-hukum serta
peraturan-peraturan agama, mereka telah mempunyai akhlak dan budi
pekerti yang mulia, maka demikian pulalah kita hendaknya. Dengan
perkataan lain, Allah menyuruh kita supaya mengambil contoh dan
tauladan kepada mereka yang telah terdahulu itu.
Timbul pertanyaan
kenapakah Tuhan menyuruh kita mengikuti jalan mereka yang telah
terdahulu itu, padahal dalam agama kita ada pelajaran-pelajaran hukum,
petunjuk-petunjuk yang tak ada pada mereka?
Jawabnya: Sebetulnya
agama Allah itu adalah satu, kendatipun ada perbedaannya, tetapi
perbedaan itu ialah pada furu’-furu`nya, sedang pokok-pokoknya adalah
serupa sebagai disebutkan di atas.
Sebagaimana di dalam umat-umat
yang telah terdahulu itu terdapat orang-orang yang telah diberi nikmat
oleh Tuhan, maka terdapat pula di antara mereka orang-orang yang
dimurkai Allah dan orang-orang yang sesat.
Orang yang dimurkai
Allah itu ialah mereka yang tak mau menerima seruan Allah yang
disampaikan oleh rasul-rasul, karena berlainan dengan apa yang mereka
biasakan, atau karena tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, kendatipun
telah jelas bahwa yang dibawa oleh rasul-rasul itulah yang benar.
Masuk juga dalam golongan ini, mereka yang mulanya telah menerima apa
yang disampaikan oleh rasul-rasul, tetapi kemudian lantaran sesuatu
sebab mereka membelot, dan membelakangi pelajaran-pelajaran yang dibawa
oleh rasul-rasul itu.
Di dalam sejarah banyak ditemukan
orang-orang yang dimurkai Tuhan itu, sejak di dunia ini mereka telah
diazab, sebagai balasan yang setimpal bagi keingkaran dan sifat angkara
murka mereka. Umpamanya kaum `Ad dan Samud yang telah dibinasakan oleh
Allah, yang sampai sekarang masih ada bekas-bekas peninggalan mereka
di Jazirah Arab. Begitu juga Firaun dan kaumnya yang telah dibinasakan
Tuhan di Laut Merah. Mumi Firaun yaitu bangkainya telah dibalsem sampai
sekarang masih ada disimpan dalam museum Mesir.
Adapun
orang-orang yang sesat, ialah mereka yang tidak betul kepercayaannya,
atau tidak betul pekerjaan dan amal ibadahnya serta rusak budi
pekertinya.
Bila akidah seseorang tidak betul lagi, atau pekerjaan
dan amal ibadahnya salah, dan akhlaknya telah rusak akan celakalah dia
dan kalau sesuatu bangsa berkeadaan demikian akan jatuhlah bangsa itu.
Maka
dengan ayat ini Allah mengajari hamba-Nya supaya memohonkan kepada-Nya
agar terjauh dari kemurkaan-Nya, dan terhindar dari kesesatan, dan di
dalamnya juga tersimpul suruhan Allah supaya manusia mengambil
pelajaran dari sejarah bangsa-bangsa yang telah terdahulu. Alangkah
banyaknya dalam sejarah itu kejadian-kejadian yang dapat dijadikan
iktibar dan pelajaran.
Dalam pada itu di dalam Alquranul Karim
sendiri banyak ayat-ayat yang berkenaan dengan umat dan bangsa-bangsa
yang dahulu. Boleh dibilang 75% isi Alquran adalah kisah dan cerita.
Memang tak ada suatu juga yang lebih besar pengaruhnya kepada jiwa
manusia daripada contoh-contoh dan perbandingan-perbandingan yang
terdapat dalam cerita-cerita, kisah-kisah dan sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar