Selasa, 09 Juli 2013

Surat Al-Faatihah

Surat Al-Faatihah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.(QS.1:1)

بِسْمِ اللَّهِ

Kata Bismil-laahi terdiri dari tiga kata yakni huruf  jar bi, kata ismi, dan kata Alloohi, dan kata ismi yang dijarkan oleh huruf jar bi itu menjadi Mudhof, dan kata Alloohi menjadi Mudhof ilaihnya.

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Kata Ar-rohmaanir-rohiimi itu terdiri dari dua kata yakni kata Ar-rohmaani dan kata Ar-roohiimi, yang mana keduanya menjadi sifat dari kata Alloohi, dan kedudukannya berasal dari kata pokok yang sama yakni rohmatan.

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam,”.(QS.1:2)

الْحَمْدُ لِلَّهِ
Kata Alhamdu adalah kata benda/Isim, yang mana dia menjadi Mubtada’, dan Jar Majrur lil-laahi adalah khobarnya, dan kata lil-laahi itu terdiri dari dua kata yakni terdiri huruf jar li dan kata Alloohi.

رَبِّ الْعَالَمِينَ
Kata Robbi yang dimudhofkan pada kata Al-’aalamiina itu menjadi Badal dari kata Alloohi yang ada di sebelumnya, disitu kata robbi yang menjadi Mudhof dijarkan karena kata Alloohi yang digantikannya dijarkan, dan kata al-’aalamiina yang asalnya al-’aalamuuna itu dijarkan karena menjadi Mudhof Ilaih dari kata Mudhof robbi


الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,”.(QS.1:3)
Kata ar-rohmaanir-rohiimi itu terdiri dari dua kata yakni kata ar-rohmaani dan kata ar-rohiimi, yang mana keduanya berasal dari kata pokok yang sama yakni dari kata rohmatan, dan kata ar-rohmaanir-rohiimi yang kedua ini disamping dia bisa menjadi sifat dari kata Alloohi yang ada sebelum robbil-’aalamiina, dia juga bisa menjadi sifat dari kata robbill-’aalamina

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Yang menguasai hari pembalasan.(QS.1:4)
Kata maaliki yaumid-diini itu terdiri dari tiga kata benda/isim, yakni kata maaliki, kata yaumi, dan kata ad-diini, yang mana kata maaliki menjadi Mudhof, dan kata yaumi menjadi Mudhof  ilaihnya, dan disamping itu kata yaumi juga menjadi Mudhof, dimana kata ad-diini menjadi Mudhof Ilaihnya, dan tiga kata itu menjadi sifat dari kata Alloohi atau bisa juga menjadi sifat dari kata robbil-’aalamiina.
PENJELASAN TAFSIR:

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.(QS. 1:1)
Di dalam Alquran ada 114 surah, semuanya dimulai dengan “Basmalah”, kecuali surah At-Taubah. Surah At-Taubah ini tidak dimulai dengan “Basmalah” karena memang tidak serasi kalau dimulai dengan “Basmalah”. Di samping pada permulaannya “Basmalah” ada disebutkan satu kali di pertengahan surah An-Naml:30; dengan demikian “Basmalah” itu didapati di dalam Alquran 114 kali.
Ada beberapa pendapat ulama berkenaan dengan “Basmalah” yang terdapat pada permulaan sesuatu surah. Di antara pendapat-pendapat itu yang termasyhur ialah:
1.”Basmalah” itu adalah suatu ayat yang tersendiri, diturunkan Allah untuk jadi kepala masing-masing surah, dan pembatas antara surah dengan surah yang lain. Jadi dia bukanlah satu ayat dari Al-Fatihah atau dari sesuatu surah yang lain, yang dimulai dengan Basmalah itu. Ini adalah pendapat Imam Malik beserta ahli qiraat dan fuqaha Madinah, Basrah dan Syam dan juga pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Sebab itu menurut Imam Abu Hanifah “Basmalah” itu tidak dikeraskan membacanya dalam salat bahkan Imam Malik tidak membaca Basmalah sama sekali.
2.”Basmalah” adalah salah satu ayat dari Al-Fatihah, dan dari sesuatu surah yang lain, yang dimulai dengan “Basmalah”. Ini adalah pendapat Imam Syafii beserta ahli qiraat Mekah dan Kufah. Sebab itu menurut mereka “Basmalah” itu dibaca dengan suara keras dalam salat (Jahar).
Kalau kita perhatikan bahwa sahabat-sahabat Rasulullah saw. telah sependapat menuliskan “Basmalah” pada permulaan sesuatu surah dan surah-surah Alquranul Karim itu, kecuali surah At-Taubah (karena memang dari semula turunnya tidak dimulai dengan Basmalah) dan bahwa Rasulullah saw. melarang menuliskan sesuatu yang bukan Alquran supaya tidak bercampur aduk dengan Alquran. Sebab itu oleh mereka tidak dituliskan “amin” di akhir surah Al-Fatihah. Basmalah itu adalah salah satu ayat dari Alquran atau dengan perkataan lain bahwa “basmalah-basmalah” yang terdapat di dalam Alquran itu adalah ayat-ayat Alquran, lepas dari pendapat apakah satu ayat dari Al-Fatihah atau dari sesuatu surah yang lain, yang dimulai dengan Basmalah atau tidak.
Sebagai disebutkan di atas surah Al-Fatihah itu terdiri dari tujuh ayat. Mereka yang berpendapat bahwa basmalah itu tidak termasuk satu ayat dari Al-Fatihah, memandang:
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
adalah salah satu ayat, dengan demikian ayat-ayat Al-Fatihah itu tetap tujuh.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

“Dengan menyebut nama Allah”, maksudnya “dengan menyebut nama Allah saya baca atau saya mulai”. Seakan-akan Nabi berkata: “Saya baca surah ini dengan menyebut nama Allah, bukan dengan menyebut nama saya sendiri, sebab dia wahyu dari Tuhan, bukan dari saya sendiri. Maka basmalah di sini mengandung arti bahwa Alquranul Karim itu wahyu dari Allah, bukan karangan Muhammad saw. dan Muhammad itu hanyalah seorang pesuruh Allah yang dapat perintah menyampaikan Alquran kepada manusia.
Pemakaian kata “Allah”
“Allah” nama bagi Zat yang ada dengan sendiri-Nya (wajibul wujud). Kata “Allah” itu hanya dipakai oleh bangsa Arab kepada Tuhan yang sebenarnya, yang berhak disembah, yang mempunyai sifat-sifat kesempurnaan. Mereka tidak memakai kata itu untuk tuhan-tuhan atau dewa-dewa mereka yang lain.
Kata “Ar-Rahman” terambil dari “Ar-Rahmah” yang berarti “belas kasihan”, yaitu suatu sifat yang menimbulkan perbuatan memberi nikmat dan karunia.
Jadi kata “Ar-Rahman” itu ialah: Yang berbuat (memberi) nikmat dan karunia yang banyak.
Kata “Ar-Rahim” juga terambil dari “Ar-Rahmah”, dan arti “Rahim” ialah: Orang yang mempunyai sifat belas kasihan, dan sifat itu “tetap” padanya selama-lamanya.
Maka Ar-Rahman Ar-Rahim (Arrahmanirrahim) itu maksudnya: Tuhan itu telah memberi nikmat yang banyak dengan murah-Nya dan telah melimpahkan karunia yang tidak terhingga, karena Dia adalah bersifat belas kasihan kepada makhluk-Nya, dan oleh karena sifat belas kasihan itu adalah suatu sifat yang tetap pada-Nya maka nikmat dan karunia Allah itu tidak ada putus-putusnya.
Dengan demikian maka kata-kata “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahim” itu kedua-duanya adalah diperlukan dalam susunan ini, karena masing-masing mempunyai arti yang khusus.
Tegasnya bila seseorang Arab mendengar orang mensifati Allah dengan Ar-Rahman, maka terpahamlah olehnya bahwa Allah itu telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya dengan banyak dan berlimpah-limpah. Tetapi bahwa limpahan nikmat dan karunia yang banyak itu tetap, tidak putus-putus tidak dapat dipahami dari lafaz Ar-Rahman itu saja. Karena itu perlulah diikuti dengan Ar-Rahim, supaya orang mengambil pengertian bahwa limpahan nikmat dan karunia serta kemurahan Allah itu tidak ada putus-putusnya.
Hikmah membaca basmalah
Seorang muslim disuruh membaca basmalah di waktu mengerjakan sesuatu pekerjaan yang baik. Yang demikian itu untuk mengingatkan bahwa pekerjaan yang dikerjakannya itu adalah suruhan Allah, atau karena telah diizinkan-Nya. Maka karena Allahlah dia mengerjakan pekerjaan itu dan kepada-Nya dia meminta pertolongan supaya pekerjaan itu terlaksana dengan baik dan berhasil.
Nabi saw. bersabda:
كل أمر ذي بال لايبدأ فيه ببسم الله فهو أبتر أي مقطوع الذنب ناقص

Sesuatu pekerjaan yang penting yang tidak dimulai dengan menyebut nama Allah adalah buntung, yakni tidak ada hasilnya.
Orang Arab sebelum datang Islam mengerjakan sesuatu pekerjaan adalah dengan menyebut Al-Lata dan Al-`Uzza, yaitu nama-nama berhala mereka. Sebab itu Allah swt. mengajarkan kepada penganut-penganut agama Islam yang telah mengesakan-Nya supaya mereka mengerjakan dengan menyebut nama Allah.

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam,(QS. 1:2)
Pada ayat di atas Allah swt. memulai firman-Nya dengan menyebut “Basmalah” untuk mengajarkan kepada hamba-Nya agar memulai sesuatu perbuatan yang baik dengan menyebut basmalah itu, sebagai pernyataan bahwa dia mengerjakan perbuatan itu karena Allah dan kepada-Nyalah dia memohonkan pertolongan dan berkat. Maka pada ayat ini Allah swt. mengajarkan hamba-Nya agar selalu memuji Allah.
“Al-Hamdu”.
الحمد

Memuji oleh karena sesuatu nikmat yang diberikan oleh yang dipuji atau karena sesuatu sifat keutamaan yang dimiliki-Nya.
Semua nikmat yang telah dirasakan dan didapat di alam ini dari Allah, sebab Dialah yang jadi sumber bagi semua nikmat. Yang mempunyai sifat-sifat kesempurnaan, hanyalah Allah semata. Karena itu Allah sajalah yang berhak dipuji.
Ada manusia dipuji orang berhubung jasanya yang banyak atau akhlak dan budi pekertinya yang luhur, tetapi orang memujinya itu pada hakekatnya memuji Tuhan, dengan disengaja atau tidak karena Allahlah yang jadi pangkal bagi semua yang disebut itu.
Berhubung nikmat Allah yang sangat banyak, dan berhubung sifat-sifat kesempurnaan yang dipunyai oleh Allah, maka sudah selayaknyalah manusia selalu memuji-Nya.
Orang yang menyebut “Alhamdulillah” bukanlah hanya mengakui bahwa puji itu teruntuk bagi Allah semata, bahkan dengan ucapannya itu dia memuji Allah.
Dapat juga seseorang memuji Allah dengan sebutan lain, yaitu:
الحمد لله
tetapi
حمدا لله
itulah yang dipakaikan Allah di sini, karena susunan semacam itu mengandung arti tetap, yakni dipahamkan di dalamnya bahwa Allah selamanya dipuji, bukan sewaktu-waktu saja.
رب

arti aslinya: “Yang Empunya” (pemilik) di dalamnya terkandung arti: mendidik, yaitu menyampaikan sesuatu kepada keadaannya yang sempurna dengan berangsur-angsur.
“Alamin” artinya “semesta alam”, yakni semua jenis alam. Alam itu berjenis-jenis macamnya, yaitu alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, alam manusia, alam benda, alam makhluk yang bertubuh halus umpamanya malaikat, jin dan alam yang lain. Ada ahli tafsir mengkhususkan “Alamin” di ayat ini kepada makhluk-makhluk Allah yang berakal yaitu manusia, malaikat dan jin. Tetapi ini berarti mempersempit arti kata yang sebenarnya amat luas.
Dengan demikian Allah itu Pendidik semesta alam tak ada suatu juga dari makhluk Allah itu terjauh dari didikan-Nya.
Tuhan mendidik makhluk-Nya dengan seluas arti kata itu. Sebagai pendidik, Dia menumbuhkan, menjaga, memberikan daya (tenaga) dan senjata kepada makhluk itu guna kesempurnaan hidupnya masing-masing.
Siapa yang memperhatikan perjalanan bintang-bintang, menyelidiki kehidupan tumbuh-tumbuhan dan binatang di laut dan di darat, mempelajari pertumbuhan manusia sejak dari rahim ibunya, sampai ke masa kanak-kanak lalu menjadi manusia yang sempurna, tahulah dia bahwa tidak ada sesuatu juga dari makhluk Tuhan yang terlepas dari penjagaan, pemeliharaan, asuhan dan inayah-Nya.

Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.(QS. 1:3)
Pada ayat dua di atas Allah swt. menerangkan bahwa Dia adalah Tuhan semesta alam. Maka untuk mengingatkan hamba kepada nikmat dan karunia yang berganda-ganda, yang telah dilimpahkan-Nya, serta sifat dan cinta kasih sayang yang abadi pada diri-Nya, diulang-Nya sekali lagi menyebut “Ar-Rahmanir Rahim”. Yang demikian itu supaya lenyap dari pikiran mereka gambaran keganasan dan kezaliman seperti raja-raja yang dipertuan, yang bersifat sewenang-wenang.
Allah mengingatkan dalam ayat ini bahwa sifat ketuhanan Allah terhadap hambanya bukanlah sifat keganasan dan kezaliman, tetapi berdasarkan cinta dan kasih sayang.
Dengan demikian manusia akan mencintai Tuhannya, dan menyembah Allah dengan hati yang aman dan tenteram bebas dari rasa takut dan gelisah. Malah dia akan mengambil pelajaran dari sifat-sifat Tuhan. Dia akan mendasarkan pergaulan dan tingkah lakunya terhadap manusia sesamanya, atau pun terhadap orang yang di bawah pimpinannya, malah terhadap binatang yang tak pandai berbicara sekalipun atas sifat cinta dan kasih sayang itu.
Karena dengan jalan demikianlah manusia akan mendapat rahmat dan karunia dari Tuhannya.
Rasulullah saw. Bersabda:
إنما يرحم الله من عباده الرحماء

Artinya:
Sesungguhnya Allah kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya yang pengasih.(H.R Tabrani)
الراحمون يرحمهم الرحمن تبارك و تعالي ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء

Artinya:
Orang-orang yang kasih sayang Tuhan yang Rahman Tabaraka wa Taala akan kasih sayang kepadanya. (Oleh karena itu) kasih sayanglah kamu semua kepada semua makhluk yang di bumi niscaya semua makhluk yang di langit akan kasih sayang kepada kamu semua. (H.R Ahmad, Abu Daud At Tarmizi dan Al Hakim)
Dan sabda Rasulullah saw:
من رحم ولو ذبيحة عصفور رحمه الله يوم القيامة

Artinya:
Barang siapa (orang) yang kasih sayang meskipun kepada seekor burung (pipit) yang disembelih, Allah kasih sayang kepadanya pada hari kiamat. (H.R Bukhari)
Maksud hadis tersebut ialah pada waktu menyembelih burung itu dengan sopan santun umpamanya dengan pisau yang tajam.
Dapat pula dipahami dari urutan kata “Ar-Rahman”, “Ar-Rahim” itu, bahwa penjagaan, pemeliharaan dan asuhan Tuhan terhadap semesta alam, bukanlah lantaran mengharapkan sesuatu dari alam itu, hanya semata-mata karena rahmat dan belas kasihan daripada-Nya.
Boleh jadi ada yang terlintas pada pikiran orang, mengapa Tuhan mengadakan peraturan-peraturan dan hukum-hukum, dan menghukum orang-orang yang melanggar peraturan-peraturan itu?
Keragu-raguan ini akan hilang bila diketahui bahwa Allah swt. mengadakan peraturan-peraturan dan hukum-hukum, begitu juga menyediakan azab di akhirat atau di dunia untuk hamba-Nya yang melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum itu, bukanlah berlawanan dengan sifat Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, karena peraturan dan hukum itu rahmat dari Tuhan; begitu pula azab dari Allah terhadap hamba-Nya yang melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum itu sesuai dengan keadilan.

Yang menguasai hari pembalasan.(QS. 1:4)
Sesudah Allah swt. menyebutkan beberapa sifat-Nya, yaitu: Tuhan semesta alam, Yang Maha Pemurah, Maha Penyayang, maka diiringi-Nya dengan menyebutkan satu sifat-Nya lagi, yaitu menguasai hari pembalasan.
“Malik” berarti “Yang Menguasai”
Ada dua macam bacaan berkenaan dengan “Malik”, pertama dengan memanjangkan “Maa”, kedua dengan memendekkannya. Menurut bacaan yang pertama, “Maalik” artinya: Yang memiliki (yang empunya). Sedang menurut bacaan yang kedua, artinya: Raja; kedua-dua bacaan itu dibolehkan.
Baik menurut bacaan yang pertama, atau pun bacaan yang kedua, dapat dipahami dari kata itu arti “berkuasa” dan bertindak dengan sepenuhnya. Sebab itulah maka diterjemahkan dengan: “Yang menguasai”. “Yaum”, (hari) artinya, tetapi yang dimaksud di sini ialah waktu secara mutlak.
“Ad-Din” itu banyak artinya, di antaranya:
1.Perhitungan
2.Ganjaran, pembalasan
3.Patuh
4.Menundukkan
5.Syariat, agama
Yang selaras di sini ialah dengan arti “pembalasan”. Jadi “Maaliki yaumiddin” maksudnya “Tuhan itulah yang berkuasa dan yang dapat bertindak dengan sepenuhnya terhadap semua makhluk-Nya pada hari pembalasan itu”.
Sebetulnya pada hari kemudian itu banyak hal-hal yang terjadi, yaitu hari kiamat, hari berbangkit, hari berkumpul, hari perhitungan, hari pembalasan, tetapi pembalasan sajalah yang disebut oleh Tuhan di sini, karena itulah yang terpenting. Yang lain dari itu, umpamanya kiamat, berbangkit dan seterusnya, pendahuluan dari pembalasan itu, apalagi untuk targib dan tarhib (menarik dan menakuti) dengan menyebut “hari pembalasan” itulah yang lebih tepat.
Hari akhirat menurut pendapat akal (filsafat)
Kepercayaan tentang adanya hari akhirat, yang di hari itu akan diadakan perhitungan terhadap perbuatan manusia di masa hidupnya dan diadakan pembalasan yang setimpal, adalah suatu kepercayaan yang sesuai dengan akal.
Sebab itu adanya hidup yang lain, sesudah hidup di dunia ini bukanlah saja ditetapkan oleh agama, malah juga ditunjukkan oleh akal.
Seseorang yang mau berpikir tentu akan merasa bahwa hidup di dunia ini belumlah sempurna, perlu disambung dengan hidup yang lain. Alangkah banyaknya hidup di dunia ini orang yang teraniaya telah pulang ke rahmatullah sebelum mendapat keadilan. Alangkah banyaknya orang yang berjasa, biar kecil atau besar, belum mendapat penghargaan terhadap jasanya. Alangkah hanyaknya orang yang telah berusaha, memeras keringat dan peluh, membanting tulang tetapi belum sempat lagi merasa buah usahanya itu. Sebaliknya, alangkah banyaknya penjahat-penjahat, penganiaya, pembuat onar yang tak dapat dipegang oleh pengadilan di dunia ini. Lebih-lebih kalau yang melakukan kejahatan atau aniaya itu orang yang berkuasa sebagai raja, pembesar dan lain-lain. Maka biar pun kejahatan dan aniaya itu telah meratai bangsa seluruhnya tiadalah digugat orang, malah dia tetap dipuja dan dihormati. Victor Hugo (1802-1885) pernah menyindir keadaan ini dengan katanya, “Membunuh seorang manusia dalam rimba adalah satu dosa yang tak dapat diampuni, tetapi membunuh suatu bangsa seluruhnya adalah satu soal yang masih dapat dipertimbangkan.” Maka di manakah akan didapat gerangan keadilan itu, kalau tidak ada nanti mahkamah yang lebih tinggi, yaitu mahkamah Allah di hari kemudian.
Sebab itu ahli-ahli pikir dari zaman dahulu telah ada yang sampai kepada kepercayaan tentang adanya hari akhirat itu, semata-mata dengan jalan berpikir. Antara lain Pythagoras; filosof ini berpendapat bahwa hidup di dunia ini persediaan hidup yang abadi di akhirat kelak. Sebab itu semenjak dari dunia hendaklah orang bersedia untuk hidup yang abadi ini. Socrates, Plato dan Aristoteles, “Jiwa yang baik akan merasai kenikmatan dan kelezatan di akhirat, tetapi bukan kelezatan kebendaan, karena kelezatan kebendaan itu terbatas dan mendatangkan bosan dan jemu. Hanya kelezatan rohani yang bagaimana pun banyak dan lamanya, tiadalah menyebabkan bosan dan jemu.”
Kepercayaan Bangsa Arab Sebelum Islam tentang hari akhirat
Di antara bangsa Arab sebelum datang agama Islam didapati beberapa ahli pikir dan pujangga-pujangga yang telah mempercayai adanya hari kemudian itu. Umpamanya Zuhair bin Abu Sulma yang meninggal dunia setahun sebelum Nabi Muhammad saw. diutus Allah. Pujangga ini pernah berkata yang artinya:
Sesuatu pekerti atau perbuatan seseorang yang menurut dugaannya tidak diketahui orang, pasti diketahui juga oleh Tuhan.
Sebab itu janganlah disembunyikan kepada Allah sesuatu yang ada pada dirimu, karena bagaimanapun kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan mengetahuinya.
Dilambatkan membalasnya, maka ditulislah dalam buku disimpan sampai “hari perhitungan”, atau disegerakan maka diberi balasan.
Ada pula di antara mereka yang tidak mempercayai adanya hari kemudian itu. Dengarlah apa yang dikatakan oleh salah seorang penyair mereka:
“Hidup, sudah itu mati, sudah itu dibangkit lagi, itulah cerita dongeng hai fulan”.
Karena itu, datanglah agama Islam membawa kepastian tentang adanya hari kemudian. Di hari akan dihisab semua perbuatan yang telah dikerjakan manusia selama hidupnya biar pun besar atau kecil. Allah swt. berfirman:
Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarah pun niscaya akan melihat (balasan)nya pula. (Q.S Az Zalzalah: 7-8)

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Surat Al-Faatihah ayat 5: “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”.(QS.1:5)

إِيَّاكَ نَعْبُدُ
Kata Iyyaa dan ka adalah menjadi Maf’ul dari fi’il Mudhori Na’budu. Disitu Maf’ulnya didahulukan dari fi’ilnya, yang biasanya Maf’ul itu dibelakang fi’il. Oleh karena itu dia dinamai Maf’ul Muqoddam yang artinya Maf’ul yang didahulukan dari fi’ilnya, dan kata na’budu adalah fi’il mudhori yang didalamnya ada fa’ilnya yakni nahnu/kami.

وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Kata wa adalah huruf Athaf yang mengathafkan/mengikutkan kalimat iyyaaka nasta’iinu yang ada di sesudahnya kepada kalimat iyyaaka na’budu yang ada disebelumnya, dan dua kata iyyaaka adalah Maf’ul Muqoddam/didahulukan dari fi’il mudhori nasta’iinu, dan kata nasta’iinu itu adalah fi’il mudhori yang didalamnya ada fa’ilnya yakni nahnu/kami.
PENJELASAN TAFSIR:
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.(QS. 1:5)

Di dalam ayat-ayat yang telah disebutkan empat macam dari sifat-sifat Tuhan, yaitu:
Pendidik semesta alam
Maha Pemurah
Maha Penyayang
Dan Yang menguasai hari pembalasan.
Sifat-sifat yang disebutkan itu adalah sifat-sifat kesempurnaan yang hanya Allah sajalah yang mempunyainya. Sebab itu pada ayat ini Allah mengajarkan kepada hamba-Nya bahwa Allah sajalah yang patut disembah, dan kepada-Nya sajalah seharusnya manusia memohonkan pertolongan, dan bahwa hamba-Nya haruslah mengikrarkan yang demikian itu.
“Iyyaka” (hanya kepada Engkaulah).
Susunan ayat-ayat ini membawa pengertian “pengkhususan” yaitu pengkhususan “ibadah” kepada Allah.
Jadi arti ayat ini: “Kepada Engkau sajalah kami tunduk dan berhina diri, dan kepada Engkau sajalah kami memohonkan suatu pertolongan”.
Pertolongan yang khusus dimohonkan kepada Allah ialah tentang sesuatu yang di luar kemampuan dan kekuasaan manusia.
“Iyyaka” dalam ayat ini diulang dua kali, gunanya untuk menegaskan bahwa ibadat dan isti`anah itu masing-masing khusus dihadapkan kepada Allah. Selain dari itu untuk dapat mencapai kelezatan munajat (berbicara) dengan Allah. Karena bagi seorang hamba Allah yang menyembah dengan segenap jiwa dan raganya tak ada yang lebih nikmat dan lezat pada perasaannya daripada bermunajat dengan Allah.
Baik juga diketahui bahwa dengan memakai “Iyyaka” itu berarti menghadapkan pembicaraan kepada Allah, dengan maksud menghadirkan Allah swt. dalam ingatan, seakan-akan Dia berada di muka kita, dan kepada-Nya dihadapkan pembicaraan dengan khusyuk dan tawaduk. Seakan-akan kita berkata:
“Ya Allah, Zat yang wajibul wujud. Yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan. Yang menjaga dan memelihara semesta alam. Yang melimpahkan rahmat dan karunia-Nya dengan berlipat ganda. Yang berkuasa di hari pembalasan. Engkau sajalah yang kami sembah, dan kepada Engkau sajalah kami meminta pertolongan. Karena hanya Engkau yang berhak disembah dan hanya Engkau yang dapat menolong kami”.
Dengan cara yang seperti itu orang akan lebih khusyuk di dalam menyembah Allah dan lebih tergambar kepadanya kebesaran Yang disembahnya itu.
Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya:
أن تعبد الله كأنك تراه

Artinya:
Hendaklah engkau menyembah Allah itu seakan-akan engkau melihat-Nya. (H.R Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab)
Karena surah Al-Fatihah mengandung ayat munajat (berbicara) dengan Allah menurut cara yang diterangkan merupakan rahasia diwajibkan membacanya tiap-tiap rakaat dalam salat, karena itu jiwanya ialah munajat dengan menghadapkan diri dan memusatkan ingatan kepada Allah.
“Na’budu” pada ayat ini didahulukan menyebutkannya dari “nasta`iinu”, karena menyembah Allah itu adalah suatu kewajiban manusia terhadap Tuhannya. Tetapi pertolongan dari Tuhan kepada seseorang hamba-Nya adalah hak hamba itu. Maka seakan-akan Tuhan mengajar hamba-Nya supaya menunaikan kewajibannya lebih dahulu, sebelum ia menuntut haknya.
Melihat kata-kata “na`budu” dan “nasta`iinu” (kami menyembah, kami minta tolong), bukan a`budu” dan “asta`iinu” (saya menyembah dan saya minta tolong) adalah untuk memperlihatkan kelemahan manusia itu, dan tidak selayaknya mengemukakan dirinya seorang saja dalam menyembah dan memohon pertolongan kepada Allah, seakan-akan penunaian kewajiban beribadat dan permohonan pertolongan kepada Allah itu belum lagi sempurna kecuali kalau dikerjakan dengan bersama-sama.
Kedudukan tauhid di dalam ibadat dan sebaliknya
Arti “ibadat” sebagai disebutkan di atas ialah tunduk dan berhina diri kepada Allah, yang disebabkan oleh kesadaran bahwa Allah yang menciptakan alam ini, Yang menumbuhkan, Yang mengembangkan, Yang menjaga dan memelihara serta Yang membawanya dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain hingga tercapai kesempurnaannya.
Tegasnya ibadat itu timbulnya dari perasaan tauhid, maka orang yang suka memikirkan keadaan alam ini, yang memperhatikan perjalanan bintang-bintang, kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, bahkan yang mau memperhatikan dirinya sendiri, yakinlah dia bahwa di balik alam yang zahir ada Zat yang gaib yang mengendalikan alam ini, yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, yakni Dialah Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha Mengetahui dan sebagainya. Maka tumbuhlah dalam sanubarinya perasaan bersyukur dan berutang budi kepada Zat Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Maha Mengetahui itu.
Perasaan inilah yang menggerakkan bibirnya untuk menuturkan puji-pujian, dan yang mendorong jiwa dan raganya untuk menyembah dan berhina diri kepada Allah Yang Maha Kuasa itu sebagai pernyataan bersyukur dan membalas budi kepada-Nya.
Tetapi ada juga manusia yang tidak mau berpikir, dan selanjutnya tidak sadar akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan, sering melupakan-Nya, sebab itulah maka tiap-tiap agama disyariatkan bermacam-macam ibadat, gunanya untuk mengingatkan manusia kepada kebesaran dan kekuasaan Allah itu.
Dengan keterangan ini kelihatanlah bahwa tauhid dan ibadat itu pengaruh-mempengaruhi dengan arti tauhid menumbuhkan ibadat dan ibadat memupuk tauhid.
Pengaruh ibadat terhadap jiwa manusia
Tiap-tiap ibadat yang dikerjakan karena didorong oleh perasaan yang disebutkan itu, niscaya ada kesannya kepada tabiat dan budi pekerti orang yang beribadat itu. Umpamanya orang yang mendirikan salat karena sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah, dan didorong oleh perasaan bersyukur dan berutang budi kepada-Nya, akan terjauhlah dia dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, yang dilarang Allah. Dengan demikian salatnya itu akan mencegahnya dari mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak baik itu, sesuai dengan firman Allah swt.:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ

Artinya:
Sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. (Q.S Al Ankabut: 45)
Begitu juga ibadat puasa. Ibadat ini akan menimbulkan perasaan cinta dan kasih sayang terhadap orang-orang yang melarat dan miskin pada diri orang yang berpuasa itu. Dan seterusnya dengan ibadat-ibadat yang lain. Tetapi ibadat yang bukan ditimbulkan oleh keyakinan kepada kebesaran dan kekuasaan Allah, dan bukan pula didorong oleh perasaan bersyukur dan berutang budi kepada Allah itu, hanya karena turut-turutan, atau karena memelihara tradisi yang sudah turun-temurun, bukanlah ibadat yang sebenarnya, dan kendatipun dia mempunyai rupa dan bentuk ibadat, tetapi tidak ada mempunyai jiwa ibadat itu, tak ubahnya dengan gambar atau patung, bagaimana pun juga miripnya dengan manusia, tidaklah dinamai manusia. Selanjutnya ibadat yang semacam itu tidak ada kesan dan buahnya kepada tabiat dan akhlak orang yang beribadat itu.
Berusaha berdoa dan bertawakal
“Isti`anah” (memohon pertolongan) sebagai disebutkan di atas khusus dihadapkan kepada Allah, dengan arti bahwa tidak ada yang berhak dimohonkan pertolongannya kecuali Allah.
Dalam pada itu, pada ayat yang lain Allah menyuruh manusia bertolong-tolongan dalam mengerjakan kebaikan. Allah berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

Artinya:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa. (Q.S Al Ma’idah: 2)
Adakah pertentangan antara dua ayat itu? Tidak
Tercapainya sesuatu maksud, atau terlaksananya suatu pekerjaan dengan baik adalah tergantung kepada cukupnya syarat-syarat yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan itu, dan tidak adanya rintangan-rintangan yang akan menghalanginya.
Manusia telah diberi Allah tenaga, baik yang berupa pikiran maupun yang berupa kekuatan tubuh, untuk dipakai guna mencukupkan syarat-syarat, atau menolak rintangan-rintangan dalam menuju suatu maksud, atau mengerjakan sesuatu pekerjaan. Tetapi ada di antara syarat-syarat itu yang tidak kuasa manusia mencukupkannya, sebagaimana di antara rintangan itu ada yang di luar kekuasaan manusia menolaknya. Begitu pula ada di antara syarat-syarat itu atau di antara halangan-halangan itu yang tidak dapat diketahui. Maka kendatipun menurut pikirannya dia telah mencukupkan semua syarat-syarat yang diperlukan, dan telah menjauhkan semua rintangan-rintangan yang menghalangi, tetapi hasil pekerjaannya itu belum lagi sebagai yang dicita-citakannya. Jadi ada hal-hal yang tidak masuk dalam batas kekuasaan dan kemampuan manusia. Itulah yang dimintakan pertolongan khusus kepada Allah. Sebaiknya tentang sesuatu yang termasuk dalam batas kekuasaan dan kemampuan manusia, dia disuruh bertolong-tolongan, supaya tenaga menjadi kuat, dan agar ada pada masing-masing manusia sifat cinta-mencintai, harga-menghargai, dan gotong-royong.
Dengan perkataan lain, manusia disuruh Allah berusaha dengan sekuat tenaga, dan disuruh tolong-menolong, bantu-membantu. Di samping menjalankan ikhtiar dan usahanya itu, dia harus pula berdoa, memohon taufik, hidayah dan ma`unah. Ini hendaknya dimohonkannya khusus kepada Allah, karena hanyalah Dia yang kuasa memberinya. Sesudah itu semua, barulah dia bertawakal kepada-Nya.
Ibadat itu sendiri pun sesuatu pekerjaan yang berat, sebab itu haruslah dimintakan ma`unah dari Allah supaya semua ibadat terlaksana sebagai yang dimaksud oleh agama. Maka seseorang menuturkan bahwa hanya kepada Allahlah kita beribadat, diikuti lagi dengan pernyataan bahwa kepada-Nya saja minta pertolongan, terutama pertolongan agar amal ibadat terlaksana sebagaimana mestinya. Ayat di atas, sebagai telah disebutkan, mengandung tauhid, karena beribadat semata-mata kepada Allah dan meminta ma`unah khusus kepada-Nya, adalah intisari agama, dan kesempurnaan tauhid.

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus (QS.1:6)

اهْدِنَا
Kata Ihdi adalah fi’il Amer/perintah yang didalamnya ada Fa’ilnya yakni anta/engkau, dan kata naa yang berasal dari dhomir nahnu itu adalah menjadi Maf’ul dari fi’il Amer Ihdi, dan fi’il Amer ihdi yang artinya hendaklah engkau menunjuki itu mempunyai dua Maf’ul, dan kata naa yang ada di sesudahnya itu menjadi Maf’ul pertamanya.

الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Kata Ash-Shirootho yang disifati dengan kata Al-Mustaqiima itu adalah menjadi Maf’ul kedua dari fi’il Amer ihdi yang ada di sebelumnya, dan kata sifat itu selalu mengikuti dari kata yang disifatinya, oleh karena itu kata al-mustaqiima dinasobkan mengikuti kata ash-shirootho yang dinasobkan, dan kata sifat al-mustaqiima terdiri dari kata benda tunggal karena kata ash-shirootho terdiri dari kata benda tunggal, dll.
PENJELASAN TAFSIR:

Tunjukilah kami jalan yang lurus,(QS. 1:6)
“Ihdi”: Pimpinlah, tunjukilah, berilah hidayah
Arti “hidayah” ialah: Menunjukkan sesuatu jalan atau cara menyampaikan orang kepada orang yang ditujunya dengan baik.
Macam-macam hidayah petunjuk)
Allah telah memberi manusia bermacam-macam hidayah, yaitu:

1. Hidayah naluri (garizah)
Manusia begitu juga binatang-binatang, dilengkapi oleh Allah dengan bermacam-macam sifat, yang timbulnya bukanlah dari pelajaran, bukan pula dari pengalaman, melainkan telah dibawanya dari kandungan ibunya. Sifat-sifat ini namanya “naluri”, dalam bahasa Arab disebut “garizah”.
Umpamanya, naluri “ingin memelihara diri” (mempertahankan hidup). Kelihatan oleh kita seorang bayi bila merasa lapar dia menangis. Sesudah terasa di bibirnya mata susu ibunya, dihisapnyalah sampai hilang laparnya.
Perbuatan ini dikerjakannya tak seorang juga yang mengajarkan kepadanya, bukan pula timbul dari pengalamannya, hanyalah semata-mata ilham dan petunjuk dari Allah kepadanya untuk mempertahankan hidupnya.
Kelihatan pula oleh kita lebah membuat sarangnya, laba-laba membuat jaringnya, semut membuat lobangnya dan menimbun makanan dalam lubang itu. Semua itu dikerjakan oleh binatang-binatang tersebut ialah untuk mempertahankan hidupnya dan memelihara dirinya masing-masing dengan dorongan nalurinya semata-mata.
Banyak lagi naluri yang lain, umpamanya garizah ingin tahu, ingin mempunyai, ingin berlomba-lomba, ingin bermain, ingin meniru, takut dan lain-lain.
Sifat-sifat garizah
Garizah-garizah itu sebagai disebutkan terdapat pada manusia dan binatang, hanya perbedaannya ialah garizah manusia bisa menerima pendidikan dan perbaikan, tetapi garizah binatang tidak, sebab itulah manusia bisa maju tetapi binatang tidak, hanya tetap seperti sediakala.
Garizah-garizah itu adalah dasar bagi kebaikan sebagaimana dia pun juga dasar bagi kejahatan. Umpamanya karena garizah ingin memelihara diri, orang berusaha, berniaga, bertani, artinya mencari nafkah secara halal. Tetapi karena garizah “ingin memelihara diri” itu pulalah orang mencuri, menipu, merampok dan lain-lain. Karena garizah “ingin tahu” pulalah orang suka mencari-cari aib dan rahasia sesamanya, yang mengakibatkan permusuhan dan persengketaan. Demikianlah seterusnya dengan garizah-garizah yang lain.
Garizah-garizah itu tidak dapat dihilangkan dan tidak ada faedahnya membunuhnya. Ada ahli pikir dan pendidik yang hendak memadamkan garizah karena melihat seginya yang tidak baik (jahat) itu, sebab itu diadakan oleh mereka macam-macam peraturan untuk mengikat kemerdekaan anak-anak supaya garizah itu jangan tumbuh, atau mana yang telah tumbuh menjadi mati. Tetapi perbuatan mereka itu besar bahayanya terhadap pertumbuhan akal, tubuh dan akhlak anak-anak. Dan bagaimanapun orang berusaha hendak membunuh garizah itu, namun ia tidak akan mati.
Boleh jadi karena kerasnya tekanan dan kuatnya rintangan terhadap sesuatu garizah, maka kelihatan dia telah padam tetapi manakala ada yang membangkitkannya, timbullah dia kembali. Oleh karena itu kendatipun garizah itu dasar bagi kebaikan, sebagaimana dia juga dasar bagi kejahatan, tetapi kewajiban manusia bukanlah menghilangkannya, hanya mendidik dan melatihnya, supaya dapat dimanfaatkan dan disalurkan ke arah yang baik.
Allah telah menganugerahkan kepada manusia bermacam-macam garizah untuk jadi hidayah (petunjuk) yang akan dipakai dengan cara bijaksana oleh manusia itu.

2. Hidayah Pancaindra
Karena garizah itu sifatnya belum pasti sebagai disebutkan di atas, maka ia belum cukup untuk jadi hidayah bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Sebab itu oleh Allah swt. manusia dilengkapi lagi dengan pancaindra. Pancaindra itu sangat besar harganya terhadap pertumbuhan akal dan pikiran manusia, sebab itu ahli-ahli pendidikan berkata:
الحواس أبواب المعرفة

Artinya:
Pancaindra itu adalah pintu-pintu pengetahuan.
Maksudnya ialah dengan jalan pancaindra itulah manusia dapat berhubungan dengan alam yang di luar, dengan arti bahwa sampainya sesuatu dari alam yang di luar ini ke dalam otak manusia adalah pintu-pintu pancaindra itu.
Tetapi garizah ditambah dengan pancaindra, juga belum cukup lagi untuk jadi pokok-pokok kebahagiaan manusia. Banyak lagi benda-benda dalam alam ini yang tidak dapat dilihat oleh mata. Banyak macam suara yang tidak dapat didengar oleh telinga. Malah selain dari alam mahsusat (yang dapat ditangkap oleh pancaindra), ada lagi alam ma’qulat (yang hanya dapat ditangkap oleh akal).
Selain dari pancaindra itu hanya dapat menangkap alam mahsusat, tangkapannya tentang yang mahsusat itupun tidak selamanya betul, kadang-kadang salah. Inilah yang dinamakan dalam ilmu jiwa “illusi optik” (tiupan pandangan), dalam bahasa Arab disebut, “khida’an nazar”. Sebab itu manusia membutuhkan lagi hidayah yang kedua itu. Maka dianugerahkan lagi oleh Allah hidayah yang ketiga, yaitu “hidayah akal”.

3. Hidayah akal (pikiran)
a. Akal dan kadar kesanggupannya
Dengan adanya akal itu dapatlah manusia menyalurkan garizah ke arah yang baik agar garizah itu menjadi pokok bagi kebaikan, dan dapatlah manusia membetulkan kesalahan-kesalahan pancaindranya, membedakan buruk dengan baik. Malah sangguplah dia menyusun mukadimah untuk menyampaikannya kepada natijah, mempertalikan akibat dengan sebab, memakai yang mahsusat sebagai tangga kepada yang ma’qulat, mempergunakan yang dapat dilihat, diraba dan dirasai untuk menyampaikannya kepada yang abstrak, maknawi dan gaib, mengambil dalil dari adanya makhluk untuk adanya khalik, dan begitulah seterusnya.
Tetapi akal manusia juga belum lagi memadai untuk membawanya kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat di samping berbagai macam garizah dan pancaindra itu.
Apalagi pendapat akal itu bermacam-macam, yang baik menurut pikiran si A belum tentu baik menurut pandangan si B, malah banyak manusia yang masih mempergunakan akalnya, atau akalnya dikalahkan oleh hawa nafsu dan sentimennya. Hingga yang buruk itu menjadi baik dalam pandangannya dan yang baik itu menjadi buruk.
Dengan demikian nyatalah bahwa garizah ditambah dengan pancaindra ditambah pula dengan akal belum lagi cukup untuk menjadi hidayah yang akan menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup jasmani dan rohani, di dunia dan akhirat.
Oleh karena itu manusia membutuhkan suatu hidayah lagi, di samping pancaindra dan akalnya itu, yaitu hidayah agama yang dibawa oleh para rasul `alaihimus shalatu wassalam.
b. Bibit agama dan akidah tauhid pada jiwa manusia
Dalam pada itu kalau diperhatikan agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang diciptakan oleh manusia (Al-Adyan Al-Wad’iyyah) kelihatan pada jiwa manusia telah ada bibit-bibit suka beragama. Yang demikian itu karena manusia itu mempunyai sifat merasa berhutang budi suka berterima kasih dan membalas budi kepada orang yang berbuat baik kepadanya. Maka di kala diperhatikan dirinya dan alam yang di sekelilingnya, umpamanya roti yang dimakannya, tumbuh-tumbuhan yang ditanamnya, binatang ternak yang digembalakannya, matahari yang memancarkan sinarnya, hujan yang turun dari langit yang menumbuhkan tanam-tanaman, akan merasa berutang budilah dia kepada “suatu Zat” yang gaib yang telah berbuat baik dan melimpahkan nikmat yang besar itu kepadanya.
Didapatnyalah dengan akalnya bahwa Zat yang gaib itulah yang menciptakannya, yang menganugerahkan kepadanya dan kepada jenis manusia seluruhnya, segala sesuatu yang ada di alam ini, segala sesuatu yang dibutuhkannya untuk memelihara diri dan mempertahankan hidupnya.
Karena dia merasa berutang budi kepada suatu Zat Yang Gaib itu, maka dipikirkannyalah bagaimana cara berterima kasih dan membalas budi itu, atau dengan perkataan lain bagaimana cara “menyembah Zat Yang Gaib itu”.
Akan tetapi masalah bagaimana cara menyembah Zat Yang Gaib itu, adalah suatu masalah yang sukar, yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia. Sebab itu di dalam sejarah kelihatan bahwa tidak pernah adanya keseragaman dalam hal ini. Bahkan akal pikirannya akan membawanya kepada kepercayaan membesarkan alam di samping membesarkan Zat Yang Gaib itu.
Karena pikirannya masih bersahaja dan karena belum dapat dia menggambarkan di otaknya bagaimana menyembah “Zat Yang Gaib”, maka dipilihlah di antara alam ini sesuatu yang besar, atau yang indah, atau yang banyak manfaatnya, atau sesuatu yang ditakutinya untuk jadi pelambang bagi Zat Yang Gaib itu.
Pernah dia mengagumi matahari, bulan dan bintang-bintang, atau sungai-sungai, binatang dan lain-lain, maka disembahnyalah benda-benda itu, sebagai lambang bagi menyembah Tuhan atau Zat Yang Gaib itu, dan diciptakannyalah cara-cara beribadah (menyembah) benda-benda itu.
Dengan ini timbullah pula suatu macam kepercayaan, yang dinamakan “Kepercayaan menyembah kekuatan alam”, sebagai yang terdapat di Mesir, Kaldania, Babilonia, Assyiria dan di tempat-tempat lain di zaman purbakala.
Dengan keterangan itu kelihatanlah bahwa manusia menurut fitrahnya suka beragama, suka memikirkan dari mana datangnya alam ini, dan ke manakah kembalinya.
Bila dia memikirkan dari mana datangnya alam ini, akan sampailah dia pada keyakinan tentang adanya Tuhan, bahkan akan sampailah dia kepada keyakinan tentang keesaan Tuhan itu (tauhid), karena akidah (keyakinan) tentang keesaan inilah yang lebih mudah, dan lebih lekas dipahami oleh akal manusia. Karena itu dapatlah kita tegaskan bahwa manusia itu menurut nalurinya adalah beragama tauhid.
Sejarah telah menerangkan bahwa bangsa Kaldania pada mulanya adalah beragama tauhid, barulah kemudian mereka menyembah matahari, planet- planet dan bintang-bintang yang mereka simbolkan dengan patung-patung. Sesudah Raja Namruz meninggal, mereka pun mendewakan dan menyembah Namruz itu. Bangsa Assyiria pun pada asalnya beragama tauhid, kemudian mereka telah lupa kepada akidah tauhid itu dan mereka persekutukanlah Tuhan dengan binatang-binatang, dan inilah yang dipusakai oleh orang-orang Babilonia.
Adapun bangsa Mesir, maka bila diperhatikan nyanyian-nyanyian yang mereka nyanyikan dalam upacara-upacara peribadatan, jelaslah bahwa bukan seluruh bangsa Mesir purbakala itu orang-orang musyrik dan wasani, melainkan di antara mereka juga ada orang-orang muwahhidin, penganut akidah tauhid. Di dalam nyanyian-nyanyian itu terdapat ungkapan berikut:
“Dialah Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya”
“Dia mencintai seluruh makhluk, sedang dia sendiri tak ada yang menciptakan-Nya”
“Dialah Tuhan Yang Maha Agung, Pemilik langit dan bumi dan pencipta seluruh makhluk”
Umat manusia yang dengan akalnya itu telah sampai kepada akidah tauhid. Akidah tauhid ini sering menjadi kabur, atau tidak murni lagi, dan jadilah mempersekutukan Tuhan yang menonjol di antara mereka. Biar pun pendeta-pendeta mereka masih tetap dalam ketauhidannya, akan tetapi pendeta-pendeta ini kadang-kadang takut atau segan untuk memberantas kepercayaan mempersekutukan Tuhan itu, bahkan ikut hanyut dalam arus masyarakat, yakni arus mempersekutukan Tuhan.
Dapat ditegaskan bahwa akidah tauhid ini tidak pernah lenyap sama sekali, melainkan kepercayaan kepada adanya suatu Zat Yang Maha Esa itu tetap ada. Dialah Pencipta seluruh yang ada ini. Tuhan-tuhan atau dewa-dewa yang lain itu mereka anggap hanyalah sebagai pembantu dan pelayan atau simbol Yang Maha Esa itu.
c. Pendapat Bangsa Arab sebelum Islam tentang Khalik (Pencipta)
Bangsa Arab sendiri pun sebelum datang agama Islam, kalau ditanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi ini?” Mereka menjawab, “Allah.” Dan kalau ditanyakan, “Adakah Al-Lata dan Al-Uzza itu menjadikan sesuatu yang ada alam ini”? Mereka menjawab, “Tidak.” Mereka sembah dewa-dewa itu hanya untuk mengharapkan perantaraan dan syafaat dari mereka terhadap Tuhan yang sebenarnya. Allah swt. berfirman menceritakan perkataan musyrikin Arab itu:
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى

Artinya:
Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan (kedudukan) kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. (Q.S Az Zumar: 3)
d. Kepercayaan tentang akhirat bisa dicapai oleh akal
Manakala manusia itu memikirkan ke manakah kembalinya alam ini, akan sampailah dia pada keyakinan bahwa di balik hidup di dunia yang fana ini akan ada lagi hidup di hari kemudian yang kekal dan abadi. Tetapi dapatkah manusia dengan akal dan pikirannya semata-mata mengetahui apakah yang perlu dikerjakan atau dijauhinya sebagai persiapan untuk kebahagiaan di hari kemudian (hari akhirat) itu? Jawabnya tentu saja tidak, sejarah pun telah membuktikan hal ini.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa manusia telah diberi Allah akal untuk jadi hidayah baginya, di samping garizah dan pancaindra. Tetapi hidayah akal itu belumlah mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat.
Begitu juga manusia mempunyai tabiat suka beragama, dan dengan akalnya dia kadang-kadang telah sampai kepada tauhid. Akan tetapi tauhid yang telah dicapainya dengan akalnya itu sering pula menjadi kabur dan tidak murni lagi.
Dalam pada itu manusia dengan mempergunakan akalnya juga dapat sampai kepada kesimpulan tentang adanya akhirat, akan tetapi hidayah akal itu belumlah mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat. Maka untuk menyampaikan manusia kepada akidah tauhid yang murni, yang tidak dicampuri sedikit juga oleh kepercayaan-kepercayaan menyembah dan membesarkan selain Allah, dan untuk membentangkan jalan yang benar yang akan ditempuhnya dalam perjalanan mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat dan untuk jadi pedoman bagi hidupnya di dunia ini, dia membutuhkan hidayah yang lain di samping hidayah-hidayah yang telah disebutkan itu. Maka didatangkanlah oleh Allah hidayah yang keempat yaitu “agama” yang dibawa oleh para rasul.

4. Hidayah agama
a. Pokok-pokok agama ketuhanan
Karena hal-hal yang disebutkan itu, maka diutuslah oleh Allah rasul-rasul untuk membawa agama yang akan menunjukkan kepada manusia jalan yang harus mereka tempuh untuk kebahagiaan mereka dunia dan akhirat.
Adalah yang mula-mula ditanamkan oleh rasul-rasul itu kepercayaan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, guna membersihkan iktikad manusia dari kotoran syirik (mempersekutukan Tuhan).
Rasul membawa manusia kepada kepercayaan tauhid itu dengan melalui akal dan logika, yaitu dengan mempergunakan dalil-dalil yang tepat dan logis. (Ingatlah kepada soal-jawab antara Nabi Ibrahim dengan Namruz, Nabi Musa dengan Firaun, dan seruan-seruan Alquran kepada kaum musyrikin Quraisy agar mereka mempergunakan akal).
Di samping kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa, rasul-rasul juga membawa kepercayaan tentang akhirat dan malaikat-malaikat.
Percaya kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, serta adanya malaikat dan hari kemudian itu, itulah yang dinamakan Al-Iman bil Gaib (percaya kepada yang gaib). Dan itulah yang jadi pokok bagi semua agama Ketuhanan, dengan arti bahwa semua agama yang datangnya dari Tuhan mempercayai keesaan Tuhan, serta malaikat dan hari akhirat.
Di samping `aqaid (kepercayaan-kepercayaan) yang disebutkan itu, rasul-rasul juga membawa hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-pelajaran.
Hukum-hukum dan peraturan-peraturan ini berlain-lainan, artinya apa yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim tidak sama dengan yang diturunkan kepada Nabi Musa, dan apa yang dibawa oleh Nabi Isa tidak serupa dengan yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Sebabnya ialah karena hukum-hukum dan peraturan-peraturan itu haruslah sesuai dengan keadaan tempat dan masa. Maka syariat yang dibawa oleh nabi-nabi itu adalah sesuai dengan masanya masing-masing. Jadi yang berlain-lainan itu ialah hukum-hukum furu` (cabang-cabang), sedangkan pokok-pokok hukum agama seperti akidah adalah sama.
Berhubung Muhammad saw. adalah seorang nabi penutup maka syariat yang dibawanya, diberi oleh Tuhan sifat-sifat tertentu agar sesuai dengan segala masa dan keadaan.
b. Hidayah yang dimohonkan kepada Tuhan
Agama Islam sebagai hidayah dan senjata hidup yang penghabisan, atau jalan kebahagiaan yang terakhir, telah dianugerahkan Tuhan, tetapi adakah orang pandai mempergunakan senjata itu, dan adakah semua hamba Allah sukses dalam menempuh jalan yang dibentangkan oleh Tuhan.
Tidak banyak manusia yang pandai menerapkan agama, beribadat (menyembah Allah) sebagai yang diridai oleh yang disembah, bahkan pelaksanaan syariat tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh Pembuat syariat itu.
Karena itu kita diajari Allah memohonkan kepada-Nya agar diberi-Nya ma`unah, dibimbing dan dijaga-Nya selama-lamanya serta diberi-Nya taufik agar dapat memakai semua macam hidayah yang telah dianugerahkan-Nya itu menurut semestinya. Garizah-garizah supaya dapat disalurkan ke arah yang baik, pancaindra supaya berfungsi betul, akal supaya sesuai dengan yang benar, tuntunan-tuntunan agama agar dapat dilaksanakan menurut yang dimaksud oleh yang menurunkan agama itu dengan tidak ada cacat, janggal dan salah.
Tegasnya manusia yang telah diberi Tuhan bermacam-macam hidayah yang disebutkan di atas (garizah-garizah, pancaindra, akal dan agama) belum dapat mencukupkan semata-mata hidayah-hidayah itu saja, tetapi dia masih membutuhkan ma`unah dan bimbingan dari Allah (yaitu taufik-Nya).
Maka ma`unah dan bimbingan itulah yang kita mohonkan dan kepada Allah sajalah kita hadapkan permohonan itu.
Dengan perkataan lain, Allah telah memberi kita hidayah-hidayah tersebut, tak ubahnya seakan-akan Dia telah membentangkan di muka kita jalan raya yang menyampaikan kepada kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi, maka yang dimohonkan kepada-Nya lagi ialah “membimbing kita dalam menjalani jalan yang telah terbentang itu”.
Dengan ringkas hidayah dalam ayat “ihdinassiratal mustaqim” ini berarti “taufik” (bimbingan), dan taufik itulah yang dimohonkan di sini kepada Allah.
Taufik ini dimohonkan kepada Allah sesudah kita berusaha dengan sepenuh tenaga, pikiran dan ikhtiar, karena berusaha dengan sepenuh tenaga adalah kewajiban kita, tetapi sampai berhasil sesuatu usaha adalah termasuk kekuasaan Allah. Dengan ini kelihatanlah pertalian ayat ini dengan ayat yang sebelumnya. Ayat yang sebelumnya Allah mengajari hamba-Nya supaya menyembah memohonkan pertolongan kepada-Nya, sedangkan pada ayat ini Allah menerangkan apa yang akan dimohonkan, dan bagaimana memohonkannya.
Maka tak ada pertentangan antara kedua firman Allah tersebut dan firman Allah yang ditujukan kepada Nabi yang berbunyi:
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Artinya:
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Q.S Asy Syura: 52)
Dan firman-Nya:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

Artinya:
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi tetapi Allahlah yang dapat memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (Q.S Al Qasas: 56)
Sebab yang dimaksud dengan hidayah pada ayat pertama, ialah menunjukkan jalan yang harus ditempuh, dan ini memang adalah tugas nabi. Tetapi yang dimaksud dengan hidayah pada ayat kedua ialah membimbing manusia dalam menempuh jalan itu dan memberikan taufik agar sukses dan berbahagia dalam perjalanannya, dan ini tidaklah masuk dalam kekuasaan Nabi, hanya adalah hak Allah semata-mata.
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Artinya:
Jalan yang lurus (yang menyampaikan kepada yang dituju). (Q.S Al Fatihah: 6)
Apakah yang dimaksud dengan jalan lurus itu?
Di atas telah diterangkan bahwa rasul-rasul telah membawa `aqaid (kepercayaan-kepercayaan) hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak, dan pelajaran-pelajaran. Pendeknya telah membawa segala sesuatu yang perlu untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Maka aqaid, hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-pelajaran itulah yang dimaksud dengan jalan lurus itu, karena dialah yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sebagai disebutkan.
Jadi dengan menyebut ayat ini seakan-akan kita memohon kepada Tuhan: “Bimbing dan beri taufiklah kami, ya Allah dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama kami. Betulkanlah kepercayaan kami. Bimbing dan beri taufiklah kami dalam melaksanakan kepercayaan kami. Bimbing dan beri taufiklah kami dalam melaksanakan hukum, peraturan-peraturan, serta pelajaran-pelajaran agama kami. Jadikanlah kami mempunyai akhlak yang mulia, agar berbahagia hidup kami di dunia dan akhirat”.

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
(QS.1:7)

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
Kata Shirootho dimudofkan kepada al-ladziina, dan kata an’amta adalah fi’il Madi yang didalamnya ada Fa’il nya yakni anta/engkau, dan kata ‘alaihim itu terdiri dari huruf Jar ‘alaa, dan Majrur nya/yang dijarkan olehnya adalah Dhomir him, dan Jar Majrur ‘alaihim itu menjadi Muta’alliq/berhubungan dengan fi’il Madi an’amta jadi kata shiroothol ladzinina an’amta ‘alaihim adalah menjadi Badal/ganti dari kata ash-shiroothol mustaqiima.

غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
Kata ghoiri dimudofkan kepada kata al-maghdluubi, dan kata al-maghdluubi itu dijarkan karena menjadi Mudof Ilaih dari kata ghoiri, dan kata ‘alaihim terdiri dari huruf Jar ‘ala dan Domir him yang dijarkan olehnya, dan Jar Majrur ‘alaihim itu dalam posisi Rofa’ menjadi Na’ibul Fa’il dari Isim Maf’ul alh-maghdluubi ‘alaihim itu menjadi Badal atau sifat dari Mudof Ilaih al-ladziina an’amta ‘alaihim.

وَلا الضَّالِّينَ
Kata wa adalah huruf Athaf yang mengathafkan kata ladldloolliina kepada ghoiril-maghdluubil-’alaihim.
PENJELASAN TAFSIR
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.(QS. 1:7)
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Setelah Allah swt. mengajarkan kepada hamba-Nya untuk memohonkan kepada Allah agar selalu dibimbing-Nya menuju jalan yang lurus dan benar, maka pada ayat ini Tuhan menerangkan apa jalan yang lurus itu.
Sebelum Alquranul Karim diturunkan, Tuhan telah menurunkan kitab-kitab suci-Nya yang lain, dan sebelum Nabi Muhammad diutus Allah telah mengutus rasul-rasul, karena sebelum umat yang sekarang ini telah banyak umat terdahulu.
Di antara umat-umat yang terdahulu itu terdapat nabi-nabi, siddiqin yang membenarkan rasul-rasul dengan jujur dan patuh, syuhada yang telah mengorbankan jiwa dan harta untuk kemuliaan agama Allah, dan orang-orang saleh yang telah membuat kebajikan dan menjauhi larangan Allah.
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, dan kita diajar Tuhan supaya memohonkan kepada-Nya, agar diberi-Nya taufik dan bimbingan sebagaimana Dia telah memberi taufik dan membimbing mereka. Artinya sebagaimana mereka telah berbahagia dalam aqaid, dan dalam menjalankan hukum-hukum serta peraturan-peraturan agama, mereka telah mempunyai akhlak dan budi pekerti yang mulia, maka demikian pulalah kita hendaknya. Dengan perkataan lain, Allah menyuruh kita supaya mengambil contoh dan tauladan kepada mereka yang telah terdahulu itu.
Timbul pertanyaan kenapakah Tuhan menyuruh kita mengikuti jalan mereka yang telah terdahulu itu, padahal dalam agama kita ada pelajaran-pelajaran hukum, petunjuk-petunjuk yang tak ada pada mereka?
Jawabnya: Sebetulnya agama Allah itu adalah satu, kendatipun ada perbedaannya, tetapi perbedaan itu ialah pada furu’-furu`nya, sedang pokok-pokoknya adalah serupa sebagai disebutkan di atas.
Sebagaimana di dalam umat-umat yang telah terdahulu itu terdapat orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Tuhan, maka terdapat pula di antara mereka orang-orang yang dimurkai Allah dan orang-orang yang sesat.
Orang yang dimurkai Allah itu ialah mereka yang tak mau menerima seruan Allah yang disampaikan oleh rasul-rasul, karena berlainan dengan apa yang mereka biasakan, atau karena tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, kendatipun telah jelas bahwa yang dibawa oleh rasul-rasul itulah yang benar. Masuk juga dalam golongan ini, mereka yang mulanya telah menerima apa yang disampaikan oleh rasul-rasul, tetapi kemudian lantaran sesuatu sebab mereka membelot, dan membelakangi pelajaran-pelajaran yang dibawa oleh rasul-rasul itu.
Di dalam sejarah banyak ditemukan orang-orang yang dimurkai Tuhan itu, sejak di dunia ini mereka telah diazab, sebagai balasan yang setimpal bagi keingkaran dan sifat angkara murka mereka. Umpamanya kaum `Ad dan Samud yang telah dibinasakan oleh Allah, yang sampai sekarang masih ada bekas-bekas peninggalan mereka di Jazirah Arab. Begitu juga Firaun dan kaumnya yang telah dibinasakan Tuhan di Laut Merah. Mumi Firaun yaitu bangkainya telah dibalsem sampai sekarang masih ada disimpan dalam museum Mesir.
Adapun orang-orang yang sesat, ialah mereka yang tidak betul kepercayaannya, atau tidak betul pekerjaan dan amal ibadahnya serta rusak budi pekertinya.
Bila akidah seseorang tidak betul lagi, atau pekerjaan dan amal ibadahnya salah, dan akhlaknya telah rusak akan celakalah dia dan kalau sesuatu bangsa berkeadaan demikian akan jatuhlah bangsa itu.
Maka dengan ayat ini Allah mengajari hamba-Nya supaya memohonkan kepada-Nya agar terjauh dari kemurkaan-Nya, dan terhindar dari kesesatan, dan di dalamnya juga tersimpul suruhan Allah supaya manusia mengambil pelajaran dari sejarah bangsa-bangsa yang telah terdahulu. Alangkah banyaknya dalam sejarah itu kejadian-kejadian yang dapat dijadikan iktibar dan pelajaran.
Dalam pada itu di dalam Alquranul Karim sendiri banyak ayat-ayat yang berkenaan dengan umat dan bangsa-bangsa yang dahulu. Boleh dibilang 75% isi Alquran adalah kisah dan cerita. Memang tak ada suatu juga yang lebih besar pengaruhnya kepada jiwa manusia daripada contoh-contoh dan perbandingan-perbandingan yang terdapat dalam cerita-cerita, kisah-kisah dan sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar