Sabtu, 30 Juni 2012
Dalil-dalil yang Shahih seputar Nisfu Sya’ban
Dan inilah dalil-dalil shahih yang harus dijadikan petunjuk untuk diikuti oleh seluruh kaum muslimin.
1. Dalil pertama:
Sesungguhnya Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku tidak pernah sekali pun melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali (pada) bulan Ramadan, dan aku tidak pernah melihat beliau (banyak berpuasa -ed) dalam suatu bulan kecuali bulan Sya’ban. Beliau berpuasa pada kebanyakan hari di bulan Sya’ban.” (HR. al-Bukhari: 1868 dan HR. Muslim: 782)
2. Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu:
“Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalam beberapa bulan seperti puasamu di bulan Sya’ban. Beliau menjawab, ‘Itu adalah satu bulan yang manusia lalai darinya. (Bulan itu adalah) bulan antara Rajab dan Ramadan, dan pada bulan itu amalan-amalan manusia diangkat kepada Rabbul ‘alamin, maka aku ingin supaya amalanku diangkat pada saat aku berpuasa.’ ” (HR. an-Nasa’i: 1/322, dinilai shahih oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil: 4/103). Sumber idem.
3. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun tidak berpuasa sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.”(HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156). Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156). Dari Ummu Salamah, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
4. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, janganlah berpuasa.”(HR. Tirmidzi no. 738 dan Abu Daud no. 2337) Dalam lafazh lain, “Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tidak ada puasa sampai datang Ramadhan.” (HR. Ibnu Majah no. 1651)
Sebenarnya para ulama berselisih pendapat dalam menilai hadits-hadits di atas dan hukum mengamalkannya. Di antara ulama yang menshahihkan hadits di atas adalah At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thahawiy, dan Ibnu ‘Abdil Barr. Di antara ulama belakangan yang menshahihkannya adalah Syaikh Al Albani rahimahullah.
Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang mungkar dan hadits mungkar adalah di antara hadits yang lemah. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ’Abdurrahman bin Mahdiy, Imam Ahmad, Abu Zur’ah Ar Rozi, dan Al Atsrom. Alasan mereka adalah karena hadits di atas bertentangan dengan hadits, “Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa.” (HR. Muslim no. 1082). Jika dipahami dari hadits ini, berarti boleh mendahulukan sebelum ramadhan dengan berpuasa dua hari atau lebih.
Al Atsrom mengatakan, “Hadits larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban bertentangan dengan hadits lainnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya (mayoritasnya) dan beliau lanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Dan hadits di atas juga bertentangan dengan hadits yang melarang berpuasa dua hari sebelum Ramadhan. Kesimpulannya, hadits tersebut adalah hadits yang syadz, bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.”
At Thahawiy mengatakan bahwa mayoritas ulama memang tidak mengamalkan hadits tersebut. Namun ada pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyah, juga hal ini mencocoki pendapat sebagian ulama belakangan dari Hambali. Mereka mengatakan bahwa larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban adalah bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa ketika itu. Jadi bagi yang memiliki kebiasaan berpuasa (seperti puasa senin-kamis), boleh berpuasa ketika itu, menurut pendapat ini. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 244-245). Sumber dari sini.
Nasehat Para Ulama
‘Abdullah bin Al Mubarok pernah ditanya mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, lantas beliau pun memberi jawaban pada si penanya, “Wahai orang yang lemah! Yang engkau maksudkan adalah malam Nishfu Sya’ban?! Perlu engkau tahu bahwa Allah itu turun di setiap malam (bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja, -pen).” Dikeluarkan oleh Abu ‘Utsman Ash Shobuni dalam I’tiqod Ahlis Sunnah (92).
Al ‘Aqili rahimahullah mengatakan, “Mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, maka hadits-haditsnya itu layyin (menuai kritikan). Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Allah akan turun setiap malam, itu terdapat dalam berbagai hadits yang shahih. Ketahuilah bahwa malam Nishfu Sya’ban itu sudah termasuk pada keumuman hadits semacam itu, insya Allah.” Disebutkan dalam Adh Dhu’afa’ (3/29).[Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab, no. 49678]
Perkataan yang amat bagus dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, beliau rahimahullah mengatakan, “Malam Nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam-malam lainnya. Janganlah malam tersebut dikhususkan dengan shalat tertentu. Jangan pula mengkhususkan puasa tertentu ketika itu. Namun catatan yang perlu diperhatikan, kami sama sekali tidak katakan, “Barangsiapa yang biasa bangun shalat malam, janganlah ia bangun pada malam Nishfu Sya’ban. Atau barangsiapa yang biasa berpuasa pada ayyamul biid (tanggal 13, 14, 15 H), janganlah ia berpuasa pada hari Nishfu Sya’ban (15 Hijriyah).” Ingat, yang kami maksudkan adalah janganlah mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat tertentu atau siang harinya dengan puasa tertentu.” [Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 115.]
Ibnu Taimiyah ketika ditanya mengenai shalat Nishfu Sya’ban, beliau rahimahullah menjawab, “Jika seseorang shalat pada malam nishfu sya’ban sendiri atau di jama’ah yang khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian salaf, maka itu suatu hal yang baik. Adapun jika dilakukan dengan kumpul-kumpul di masjid untuk melakukan shalat dengan bilangan tertentu, seperti berkumpul dengan mengerjakan shalat 1000 raka’at, dengan membaca surat Al Ikhlas terus menerus sebanyak 1000 kali, ini jelas suatu perkara bid’ah, yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama.”[Majmu’ Al Fatawa, 23/131]
Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “Adapun tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban terdapat beberapa hadits dan atsar, juga ada nukilan dari beberapa ulama salaf bahwa mereka melaksanakan shalat pada malam tersebut. Jika seseorang melakukan shalat seorang diri ketika itu, maka ini telah ada contohnya di masa lalu dari beberapa ulama salaf. Inilah dijadikan sebagai hujjah sehingga tidak perlu diingkari.”[Majmu’ Al Fatawa, 23/132]
Setelah menyebutkan perkataan Ibnu Rajab dalam Lathoif Al Ma’arif, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pun lantas mengomentari pendapat Al Auza’i dan Ibnu Rajab. Beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam perkataan Ibnu Rajab sendiri terdapat kata tegas bahwa tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang shahih tentang malam Nishfu Sya’ban. Adapun pendapat yang dipilih oleh Al Auza’i rahimahullah mengenai dianjurkannya ibadah sendirian (bukan berjama’ah) dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Rajab, maka ini adalah pendapat yang aneh dan lemah. Karena sesuatu yang tidak ada landasan dalilnya sama sekali, maka tidak boleh bagi seorang muslim mengada-adakan suatu ibadah ketika itu, baik secara sendiri atau berjama’ah, baik pula secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.”[Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 1/190]. Sumber di sini.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah (di sela-sela penjelasannya tentang waktu-waktu yang mempunyai keutamaan yang sering dianggap mempunyai keutamaan, padahal tidak benar bahkan terlarang) berkata :
ومن هذا الباب ليلة النصف من شعبان فقد روي في فضلها من الأحاديث المرفوعة والآثار ما يقتضي أنها ليلة مفضلة ، وأن من السلف من كان يخصها بالصلاة ، وصوم شهر شعبان قد جاءت فيه أحاديث صحيحة .
ومن العلماء من السلف من أهل المدينة وغيرهم من الخلف من أنكر فضلها ، وطعن في الأحاديث الواردة فيها كحديث إن الله يغفر لأكثر من عدد غنم كلب ))، وقال لا فرق بينها وبين غيرها .
لكن الذي عليه أكثر أهل العلم ، أو أكثرهم من أصحابنا وغيرهم على تفضيلها ، وعليه يدل نص أحمد، لتعدد الأحاديث الواردة فيها ، وما يصدق ذلك من الآثار السلفية، وقد روي بعض فضائلها في المسانيد والسننوإن كان قد وضع فيها أشياء أخر) ا.هـ
”Dalam bab ini, yaitu tentang malam Nishfu Sya’ban, maka telah diriwayatkan padanya keutamaan yang datang dari hadits-hadits marfu’ dan atsar-atsar yang menunjukkan bahwa malam tersebut adalah malam yang utama/mulia. Beberapa ulama salaf ada yang mengkhususkan padanya shalat dan juga puasa Sya’ban sebagaimana tertera dalam hadits-hadits yang shahih.
Di antara ulama salaf dari kalangan penduduk Madinah dan yang lainnya dari kalangan ulama khalaf mengingkari tentang keutamaannya dan mencela (mendla’ifklan) hadits-hadits yang menjelaskan tentangnya, seperti hadits : ”Sesungguhnya Allah mengampuni dosa lebih banyak dari jumlah domba Bani Kalb”. Tidak ada perbedaan antara malam tersebut dengan malam yang lainnya.
Penjelasan:
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 739 dengan lafadh :
إن الله عز وجل ينزل ليلة النصف من شعبان إلى السماء الدنيا فيغفر لأكثر من عدد شعر غنم كلب
”Sesungguhnya Allah ’azza wa jalla turun ke langit dunia pada malam Nishfu Sya’ban, dimana pada malam itu Allah mengampuni (dosa) yang jumlahnya lebih banyak dari bulu domba milik Bani Kalb” .
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ahmad (6/238 no. 26060), ’Abdun bin Humaid (no. 1509), Ibnu Majah (no. 1389), dan Ath-Thabarani dalam Al-Ausath (no. 199). Sanad hadits ini adalah dla’if sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dan Syaikh Al-Albani. Letak kedla’ifannya adalah pada Hajjaaj bin Arthaah. Ia seorang mudallis yang telah meriwayatkan secara ‘an’anah. Akan tetapi, hadits ini adalah shahih dengan keseluruhan jalannya sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 1144. Beliau menyebutkan sekurangnya ada delapan shahabat yang meriwayatkan hadits tersebut yang masing-masing jalannya saling menguatkan satu sama lain. Wallaahu a’lam. – Abul-Jauzaa’
Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa keutamaan yang tertera pada hadits tersebut bukanlah keutamaan yang khusus dimiliki oleh malam Nishfu Sya’ban tanpa dimiliki oleh malam-malam yang lain. Bahkan keutamaan yang dimiliki oleh malam Nishfu Sya’ban telah tercakup pada keumuman hadits :
ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الآخر يقول من يدعوني فأستجيب له من يسألني فأعطيه من يستغفرني فأغفر له
”Rabb kami tabaaraka wa ta’ala turun ke langit dunia setiap malam ketika sepertiga malam yang terakhir, seraya berfirman : ’Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mengabulkan doanya. Dan barangsiapa yang meminta, maka aku akan memberinya. Dan barangsiapa yang meminta ampunan dari-Ku, maka Aku akan mengampuninya” [HR. Al-Bukhari no. 1094 dan Muslim no. 758 dari shahabat Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu].
Dengan kalimat ringkas dapat dikatakan : Keutamaan yang dimiliki malam Nishfu Sya’banjuga dimiliki oleh malam-malam yang lainnya, terutama pada waktu sepertiga malam yang terakhir.
Lanjut:
Akan tetapi kebanyakan ulama atau kebanyakan dari shahabat kami dan yang lainnya menganggapnya sebagai malam mulia. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh nash Ahmad karena banyaknya hadits-haidts dan atsar-atsar kaum salaf yang menjelaskan tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Telah diriwayatkan sebagaian keutamaan malam Nishfu Sya’ban dalam kitab-kitab musnad, sunan. Jika riwayat-riwayat tersebut adalah lemah/palsu, tentu perkaranya adalah lain” [lihat Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim 3/626-627,Majmu’ Fataawaa 23/123, dan Al-Ikhtiyaaraat Al-Fiqhiyyah hal. 65]. Sumber dari sini.
Seandainya ada pengkhususan suatu malam tertentu untuk ibadah, tentu malam Jum’at lebih utama dikhususkan daripada malam lainnya. Karena malam Jum’at lebih utama daripada malam-malam lainnya. Dan hari Jum’at adalah hari yang lebih baik dari hari lainnya karena dalam hadits dikatakan, “Hari yang baik saat terbitnya matahari adalah hari Jum’at.” (HR. Muslim). Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat tertentu, hal ini menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak boleh dikhususkan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada suatu dalil yang mengkhususkannya. (At Tahdzir minal Bida’, 28).
Syeikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Seandainya malam Nishfu Sya’ban, malam jum’at pertama di bulan Rajab, atau malam Isra’ Mi’raj boleh dijadikan perayaan (hari besar Islam) atau ibadah lainnya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberi petunjuk kepada kita umat Islam mengenai hal ini atau beliau sendiri merayakannya. Jika memang seperti itu beliau lakukan, tentu para sahabat radhiyallahu ‘anhum akan menyampaikan hal tersebut pada kita umat Islam dan tidak mungkin para sahabat menyembunyikannya. Ingatlah, para sahabat adalah sebaik-baik manusia di masa itu dan mereka paling bagus dalam penyampaian setelah para Nabi ‘alaihimus shalatu was salaam. … Dan kalian pun telah mengetahui sebelumnya, para ulama sendiri mengatakan bahwa tidak ada satu dalil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para sahabat yang menunjukkan keutamaan malam jumat pertama dari bulan Rajab dan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Oleh karena itu, menjadikan hari tersebut sebagai perayaan termasuk amalan yang tidak ada tuntunannya sama sekali dalam Islam.” (At Tahdzir minal Bida’, 30)
Adapun mengenai Shalat Alfiyah, apakah shalat ini adalah suatu amalan yang dituntukan ketika malam Nishfu Sya’ban?
Perlu diketahui, orang yang pertama kali menghidupkan shalat ini pada malam Nishfu Sya’ban adalah seseorang yang dikenal dengan Babin Abul Hamroo’. Dia tinggal di Baitul Maqdis pada tahun 448 H. Dia memiliki bacaan Qur’an yang bagus. Suatu saat di malam Nishfu Sya’ban dia melaksanakan shalat di Masjidil Aqsho. Kemudian ketika itu ikut pula di belakangnya seorang pria. Kemudian datang lagi tiga atau empat orang bermakmum di belakangnya. Lalu akhirnya jama’ah yang ikut di belakangnya bertambah banyak. Ketika datang tahun berikutnya, semakin banyak yang shalat bersamanya pada malam Nishfu Sya’ban. Kemudian amalan yang dia lakukan tersebarlah di Masjidil Aqsho dan di rumah-rumah kaum muslimin, sehingga shalat tersebut seakan-akan menjadi sunnah Nabi. (Al Bida’ Al Hawliyah, 299)
Lalu kenapa shalat ini dinamakan shalat Alfiyah? Alfiyah berarti 1000. Shalat ini dinamakan demikian karena di dalam shalat tersebut dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 1000 kali. Shalat tersebut berjumlah 100 raka’at dan setiap raka’at dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 10 kali. Jadi total surat Al Ikhlas yang dibaca adalah 1000 kali. Oleh karena itu, dinamakanlah shalat alfiyah.
Adapun hadits yang membicarakan mengenai tata cara dan pahala mengerjakan shalat alfiyah ini terdapat beberapa riwayat sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at (Kumpulan Hadits-hadits palsu). Ibnul Jauzi mengatakan, “Hadits yang membicarakan keutamaan shalat alfiyah tidak diragukan lagi bahwa hadits tersebut adalah hadits palsu (maudhu’). Mayoritas jalan dalam tiga jalur adalah majhul (tidak diketahui), bahkan di dalamnya banyak periwayat yang lemah. Oleh karena itu, dipastikan haditsnya sangat tidak mungkin sebagai dalil.” (Al Maudhu’at, 2/127-130). Sumber dari sini.
Sepertinya Insya Allah cukup apa yang saya kumpulkan ini. Semoga bermanfaat bagi semuanya.
Wallahu a’lam bishawab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar